Rencana pemerintah yang
akan menaikkan harga bahan
bakar minyak (BBM)
akhir-akhir ini memberikan permasalahan tersendiri dikalangan masyarakat.
Setiap kali pemerintah berwacana menaikkan harga BBM, terjadi guncangan kuat di
masyarakat. Harga barang beranjak naik, dan angkutan umum pun sudah mengambil
ancang-ancang untuk menaikkan tarif. Padahal pemerintah belum akan menaikkan
harga BBM dan baru akan rencana, namun efek psikologis sudah dirasakan, apalagi
ketika harga BBM sudah dinaikkan. Permasalahan pelik ini sudah menjadi semacam
bom waktu yang siap meledak kapan
pun
tanpa bisa dikendalikan, karena harga BBM diseluruh negara pasti akan
terkoreksi dengan kenaikan harga minyak dunia. Namun sebagai negara yang
dianugerahi sumber daya alam yang berlimpah termasuk minyak bumi dan sumber
energi lainnya seperti gas dan batubara, apakah perlu bangsa ini menaikkan
harga minyaknya?
Mari kita analisa
bersama, menurut Satuan Kerja Khusus Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
(SKK Migas) lifting migas kita pada
kuartal 1 tahun 2013 ini sebesar 840.000 barel perhari dan itupun sudah naik
dari 827.000 barel perhari. Namun jika kita bandingkan dengan kapasitas
produksi minyak kita pada era orde baru yang mencapai 1,2 juta barel perhari, saat
ini produksi kita sangat jauh menurun. Dengan menurunnya produksi minyak maka penerimaan
negara dari sektor migas
relatif menurun dan impor minyak mentah meningkat yang akhirnya membuat defisit
akibat migas
kian membengkak. Data
pada tahun 2012 menunjukkan
bahwa defisit minyak kita
mencapai sekitar US$ 5 Milyar. Hal tersebut tentunya membuat subsidi BBM terus
membengkak.
Data
lain dari
Kemenkeu menunjukkan pada tahun 2013 pemerintah memberikan subsidi BBM sebesar 274,7 Triliun
Rupiah dan akan meningkat setiap bulannya mengikuti fluktuasi harga minyak
dunia. Kenaikan
subsidi ini juga berdampak pada ketahanan energi yang semakin rawan karena
ketergantungan pada impor yang semakin besar serta mempengaruhi kemampuan pemerintah
dalam membangun infrastruktur.
Selain itu program
diversifikasi BBM ke bahan
bakar gas (BBG)
masih jalan ditempat. Sebenarnya ini adalah solusi terbaik yang bisa diambil
oleh pemerintah dalam jangka panjang untuk mengantisipasi kenaikan harga BBM dunia. Namun
program diversifikasi BBM ke gas masih sangat memperihatinkan karena saat
ini Indonesia belum memliki banyak stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG). Merunut pada sejarah, Indonesia
memulai program diversifikasi BBM ke gas sejak tahun 1995, bersamaan dengan
Malaysia dan Iran. Namun jumlah kendaraan
di Indonesia yang menggunakan BBG baru 2.000 unit di tahun 2010. Bandingkan
dengan jumlah kendaraan
di Malaysia yang telah menggunakan
BBG hingga tahun
2010 tercatat sebanyak 46.701
unit, sementara di Iran sejumlah
1,95
juta unit. Padahal ketiga negara
tersebut mengawali program ini pada tahun yang bersamaan dan
Indonesia jelaslah
sudah tertinggal jauh. Tidak hanya jumlah kendaraan yang timpang, jumlah SPBG
pun demikian. Jumlah SPBG di Indonesia tahun 2010 tercatat 9 tempat dan pada
tahun 2013 ini baru akan bertambah menjadi 20, sementara di Malaysia terdapat SPBG di 159 lokasi dan Iran memilikinya di 1.574
lokasi. Sedangkan India juga
sudah
memiliki 2.000 SPBG dan Pakistan sejumlah
2.500
SPBG. Hal ini menjadi tolak ukur tingkat keseriusan pemerintah dalam program
diversifikasi BBM ke BBG yang hingga saat ini bisa kita simpulkan sangat tidak
serius dan terkesan main-main.
Faktor lain yang
mempengaruhi ketahanan energi kita ialah Penjualan gas Blok Tangguh di Papua ke
Fujian, China,
sangat murah. Harga gas Tangguh yang saat ini dijual ke Fujian dipatok pada kisaran US$ 3,3 per million metric british thermal unit
(mmbtu). Padahal harga domestik saja kisarannya US$ 5-6 mmbtu dan oleh
karenanya untuk harga ekspor harus lebih tinggi dari harga domestik.
Negara sangat dirugikan oleh penjualan gas Tangguh ini, dan hanya ada satu hal
yang wajib dilakukan yakni renegosiasi kontrak penjualan gas. Jika tidak maka
negara akan semakin dirugikan oleh penjualan gas yang paling aneh dan terkesan
“bodoh” ini.
Kemudian apa solusi
yang ditawarkan oleh pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM ini? Yang pertama
adalah dengan menaikkan harga BBM dan memberikan kompensasi semacam bantuan langsung tunai (BLT). Hal ini sangat tidak tepat karena
pemberian BLT sebagai kompensasi kenaikan BBM malah akan semakin memberatkan
rakyat. Pemberian BLT adalah bentuk pelecehan pemerintah terhadap rakyatnya
yang telah memilihnya secara langsung dan juga telah membayar pajak kepada
negara. Jika pemerintah bisa memberikan subsidi kenapa harus memberikan BLT
kepada rakyat? Karena jika dihitung secara rasional uang dari BLT tidak akan
pernah cukup dalam menutupi selisih
kenaikan harga BBM yang yang
berdampak pada meroketnya harga kebutuhan pokok dan juga tarif angkutan
umum. Pemberian BLT ini juga sangat rawan untuk dipolitisasi oleh penguasa,
karena BLT seringkali diberikan ketika akan dimulainya Pemilu legislatif dan
Presiden.
Solusi kedua yang
ditawarkan pemerintah adalah melalui mekanisme sistem dua harga, dimana harga
pertama BBM bersubsidi tidak naik/ tetap untuk angkutan umum dan yang kedua BBM
premium dinaikkan untuk semua jenis kendaraan pribadi. Solusi ini dinilai
sangat diskriminatif dan akan menimbulkan banyak masalah. Banyak SPBU belum
siap menerapkan kebijakan ini karena perlu dibuat stasiun khusus subsidi dan
non-subsidi untuk premium. Padahal tidak semua SPBU Pertamina sanggup membuat
stasiun khusus karena keterbatasan lahan. Kemudian ada juga kalagan yang berpendapat
untuk memberikan pembatasan/penjatahan untuk solar. Jika ini diterapkan maka
sudah barang tentu akan sangat memberatkan rakyat dan industri kecil karena
ratusan bus dan truk akan kekurangan solar. Kenaikkan tarif angkutan umum yang
menggunakan bus akan meningkat dan memberatkan masyarakat.
Solusi
konkret
Menurut penulis, solusi
yang paling tepat adalah melakukan diversifikasi BBM ke BBG. Selain ramah
lingkungan, Energi Non-Minyak yang tersedia dalam jumlah besar secara kontinyu
adalah Gas, meski gas termasuk kategori
energi
fosil. Cadangan Gas Indonesia cukup untuk 100 tahun lebih kebutuhan nasional
dan tidak perlu impor. Kebijakan ini sudah diterapkan dibanyak negara dan
berhasil seperi Malaysia, Iran, India dan Pakistan. Jika pemerintah serius
dalam menerapkan kebijakan diversifikasi BBM ke BBG maka Indonesia tidak akan
perlu khawatir akan kenaikan harga minyak dunia yang sangat rentan dan
fluktuatif. Namun ada dua persyaratan agar kebijakan diversifikasi BBM ke BBG
berhasil. Yang pertama adalah komitmen pemerintah dalam membangun SPBG di
seluruh nusantara. Harus ada perencanaan yang jelas dan target yang harus
dicapai agar pembangunan SPBG bisa berhasil. Kita sudah mulai program diversifikasi
ini sejak 1995 namun baru ada 20 SPBG saat ini dan sangat jauh tertinggal dari
Malaysia dan Iran yang melakukan kebijakan yang sama pada tahun yang sama.
Syarat yang kedua adalah pembatasan ekspor Gas keluar negeri dan lebih
memprioritaskan kebutuhan Gas dalam negeri. Pemerintah harus mau untuk
membatasi ekspor Gas ke luar negeri karena memang sumber daya alam yang ada di
bumi nusantara ini diperuntukkan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia
sesuai dengan UUD 1945 dan bukan untuk dijual ke luar negeri apalagi dengan
harga murah. Selain itu pemerintah juga wajib
melakukan renegosiasi kontrak penjualan gas Blok Tangguh ke Fujian, China
karena sangat merugikan dan melecehkan negara.
Namun jika pemerintah
dihadapkan dengan keharusan menaikkan harga BBM, solusi yang paling tepat
adalah dengan menaikkan harga secara perlahan. Kemungkinan pemerintah akan
langsung menaikkan harga premium dari Rp. 4.500 menjadi Rp. 6.000. dan akan membuat
kenaikan besar harga kebutuhan pokok dan tarif angkutan umum. Inflasi juga akan
meningkat dan rakyat makin sengsara. Jika dinaikkan perlahan seperti menaikkan
Rp. 500 menjadi Rp. 5.000 dan 6 bulan kemudian naik lagi menjadi Rp. 6.500 maka
rakyat tidak terlalu kaget dan masih bisa mempersiapkan kenaikkan harga kedepan
karena hal ini melalui perencanaan yang matang dan terarah.
Angga Radian Pally