Kamis, 30 Mei 2013

Menaikkan Harga BBM, Haruskah?


Rencana pemerintah yang akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) akhir-akhir ini memberikan permasalahan tersendiri dikalangan masyarakat. Setiap kali pemerintah berwacana menaikkan harga BBM, terjadi guncangan kuat di masyarakat. Harga barang beranjak naik, dan angkutan umum pun sudah mengambil ancang-ancang untuk menaikkan tarif. Padahal pemerintah belum akan menaikkan harga BBM dan baru akan rencana, namun efek psikologis sudah dirasakan, apalagi ketika harga BBM sudah dinaikkan. Permasalahan pelik ini sudah menjadi semacam bom waktu yang siap meledak kapan pun tanpa bisa dikendalikan, karena harga BBM diseluruh negara pasti akan terkoreksi dengan kenaikan harga minyak dunia. Namun sebagai negara yang dianugerahi sumber daya alam yang berlimpah termasuk minyak bumi dan sumber energi lainnya seperti gas dan batubara, apakah perlu bangsa ini menaikkan harga minyaknya?             
                                          
Mari kita analisa bersama, menurut Satuan Kerja Khusus Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) lifting migas kita pada kuartal 1 tahun 2013 ini sebesar 840.000 barel perhari dan itupun sudah naik dari 827.000 barel perhari. Namun jika kita bandingkan dengan kapasitas produksi minyak kita pada era orde baru yang mencapai 1,2 juta barel perhari, saat ini produksi kita sangat jauh menurun. Dengan menurunnya produksi minyak maka penerimaan negara dari sektor migas relatif menurun dan impor minyak mentah meningkat yang akhirnya membuat defisit akibat migas kian membengkak. Data pada tahun 2012 menunjukkan bahwa defisit minyak kita mencapai sekitar US$ 5 Milyar. Hal tersebut tentunya membuat subsidi BBM terus membengkak. Data lain dari Kemenkeu menunjukkan pada tahun 2013 pemerintah memberikan subsidi BBM sebesar 274,7 Triliun Rupiah dan akan meningkat setiap bulannya mengikuti fluktuasi harga minyak dunia. Kenaikan subsidi ini juga berdampak pada ketahanan energi yang semakin rawan karena ketergantungan pada impor yang semakin besar serta mempengaruhi kemampuan pemerintah dalam membangun infrastruktur.

Selain itu program diversifikasi BBM ke bahan bakar gas (BBG) masih jalan ditempat. Sebenarnya ini adalah solusi terbaik yang bisa diambil oleh pemerintah dalam jangka panjang untuk mengantisipasi kenaikan harga BBM dunia. Namun program diversifikasi BBM ke gas masih sangat memperihatinkan karena saat ini  Indonesia belum memliki banyak stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG). Merunut pada sejarah, Indonesia memulai program diversifikasi BBM ke gas sejak tahun 1995, bersamaan dengan Malaysia dan Iran. Namun jumlah kendaraan di Indonesia yang menggunakan BBG baru 2.000 unit di tahun 2010. Bandingkan dengan jumlah kendaraan di Malaysia yang telah menggunakan BBG hingga tahun 2010 tercatat sebanyak 46.701 unit, sementara di Iran sejumlah 1,95 juta unit. Padahal ketiga negara tersebut mengawali program ini pada tahun yang bersamaan dan Indonesia jelaslah sudah tertinggal jauh. Tidak hanya jumlah kendaraan yang timpang, jumlah SPBG pun demikian. Jumlah SPBG di Indonesia tahun 2010 tercatat 9 tempat dan pada tahun 2013 ini baru akan bertambah menjadi 20, sementara di Malaysia terdapat SPBG di 159 lokasi dan Iran memilikinya di 1.574 lokasi. Sedangkan India juga sudah memiliki 2.000 SPBG dan Pakistan sejumlah 2.500 SPBG. Hal ini menjadi tolak ukur tingkat keseriusan pemerintah dalam program diversifikasi BBM ke BBG yang hingga saat ini bisa kita simpulkan sangat tidak serius dan terkesan main-main.

Faktor lain yang mempengaruhi ketahanan energi kita ialah Penjualan gas Blok Tangguh di Papua ke Fujian, China, sangat murah. Harga gas Tangguh yang saat ini dijual ke Fujian dipatok pada kisaran US$ 3,3 per million metric british thermal unit (mmbtu). Padahal harga domestik saja kisarannya US$ 5-6 mmbtu dan oleh karenanya untuk harga ekspor harus lebih tinggi dari harga domestik. Negara sangat dirugikan oleh penjualan gas Tangguh ini, dan hanya ada satu hal yang wajib dilakukan yakni renegosiasi kontrak penjualan gas. Jika tidak maka negara akan semakin dirugikan oleh penjualan gas yang paling aneh dan terkesan “bodoh” ini. 

Kemudian apa solusi yang ditawarkan oleh pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM ini? Yang pertama adalah dengan menaikkan harga BBM dan memberikan  kompensasi semacam bantuan langsung tunai (BLT). Hal ini sangat tidak tepat karena pemberian BLT sebagai kompensasi kenaikan BBM malah akan semakin memberatkan rakyat. Pemberian BLT adalah bentuk pelecehan pemerintah terhadap rakyatnya yang telah memilihnya secara langsung dan juga telah membayar pajak kepada negara. Jika pemerintah bisa memberikan subsidi kenapa harus memberikan BLT kepada rakyat? Karena jika dihitung secara rasional uang dari BLT tidak akan pernah cukup dalam menutupi selisih kenaikan harga BBM yang yang berdampak pada meroketnya harga kebutuhan pokok dan juga tarif angkutan umum. Pemberian BLT ini juga sangat rawan untuk dipolitisasi oleh penguasa, karena BLT seringkali diberikan ketika akan dimulainya Pemilu legislatif dan Presiden.

Solusi kedua yang ditawarkan pemerintah adalah melalui mekanisme sistem dua harga, dimana harga pertama BBM bersubsidi tidak naik/ tetap untuk angkutan umum dan yang kedua BBM premium dinaikkan untuk semua jenis kendaraan pribadi. Solusi ini dinilai sangat diskriminatif dan akan menimbulkan banyak masalah. Banyak SPBU belum siap menerapkan kebijakan ini karena perlu dibuat stasiun khusus subsidi dan non-subsidi untuk premium. Padahal tidak semua SPBU Pertamina sanggup membuat stasiun khusus karena keterbatasan lahan. Kemudian ada juga kalagan yang berpendapat untuk memberikan pembatasan/penjatahan untuk solar. Jika ini diterapkan maka sudah barang tentu akan sangat memberatkan rakyat dan industri kecil karena ratusan bus dan truk akan kekurangan solar. Kenaikkan tarif angkutan umum yang menggunakan bus akan meningkat dan memberatkan masyarakat.

Solusi konkret
Menurut penulis, solusi yang paling tepat adalah melakukan diversifikasi BBM ke BBG. Selain ramah lingkungan, Energi Non-Minyak yang tersedia dalam jumlah besar secara kontinyu adalah Gas, meski gas termasuk kategori energi fosil. Cadangan Gas Indonesia cukup untuk 100 tahun lebih kebutuhan nasional dan tidak perlu impor. Kebijakan ini sudah diterapkan dibanyak negara dan berhasil seperi Malaysia, Iran, India dan Pakistan. Jika pemerintah serius dalam menerapkan kebijakan diversifikasi BBM ke BBG maka Indonesia tidak akan perlu khawatir akan kenaikan harga minyak dunia yang sangat rentan dan fluktuatif. Namun ada dua persyaratan agar kebijakan diversifikasi BBM ke BBG berhasil. Yang pertama adalah komitmen pemerintah dalam membangun SPBG di seluruh nusantara. Harus ada perencanaan yang jelas dan target yang harus dicapai agar pembangunan SPBG bisa berhasil. Kita sudah mulai program diversifikasi ini sejak 1995 namun baru ada 20 SPBG saat ini dan sangat jauh tertinggal dari Malaysia dan Iran yang melakukan kebijakan yang sama pada tahun yang sama. Syarat yang kedua adalah pembatasan ekspor Gas keluar negeri dan lebih memprioritaskan kebutuhan Gas dalam negeri. Pemerintah harus mau untuk membatasi ekspor Gas ke luar negeri karena memang sumber daya alam yang ada di bumi nusantara ini diperuntukkan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia sesuai dengan UUD 1945 dan bukan untuk dijual ke luar negeri apalagi dengan harga murah. Selain itu pemerintah juga wajib melakukan renegosiasi kontrak penjualan gas Blok Tangguh ke Fujian, China karena sangat merugikan dan melecehkan negara.

Namun jika pemerintah dihadapkan dengan keharusan menaikkan harga BBM, solusi yang paling tepat adalah dengan menaikkan harga secara perlahan. Kemungkinan pemerintah akan langsung menaikkan harga premium dari Rp. 4.500 menjadi Rp. 6.000. dan akan membuat kenaikan besar harga kebutuhan pokok dan tarif angkutan umum. Inflasi juga akan meningkat dan rakyat makin sengsara. Jika dinaikkan perlahan seperti menaikkan Rp. 500 menjadi Rp. 5.000 dan 6 bulan kemudian naik lagi menjadi Rp. 6.500 maka rakyat tidak terlalu kaget dan masih bisa mempersiapkan kenaikkan harga kedepan karena hal ini melalui perencanaan yang matang dan terarah.    

Angga Radian Pally


Selasa, 14 Mei 2013

Konflik Laut Cina Selatan, Pertaruhan Masa Depan ASEAN


Ekonomi Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang tumbuh rata-rata sebesar 9% per tahun selama satu dekade terakhir telah merubah peta perekonomian dunia. Pertumbuhan ekonomi RRT juga disertai peningkatan anggaran militer sebesar 15-20 persen selama kurun waktu 2005-2009, dimana setelahnya anggaran tersebut naik sekitar 10-11 persen. Meski hanya sebesar 1,3-1,8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Peningkatan anggaran tersebut telah menimbulkan kekhawatiran atas potensi munculnya konflik terbuka di kawasan Asia, khususnya atas sengketa di Laut Cina Selatan.

Meski pertumbuhan ekonomi RRT berimplikasi positif terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi dan investasi di negara-negara berkembang, utamanya kawasan Asia Tenggara. Kekuatan ekonomi dan militer RRT telah mengganggu status quo di Laut Cina Selatan. Eskalasi konflik telah menimbulkan spekulasi kemungkinan terjadinya konflik bersenjata.

Selama hampir 46 tahun Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) berhasil menjadi organisasi yang solid dan dinamis. Konflik terbuka nyaris tidak pernah terjadi secara masif. Sengketa wilayah yang bersifat bilateral, pelanggaran HAM, demokratisasi, dan isu terorisme lebih mendominasi kerjasama regional ASEAN. Meski atas sengketa Kuil Preah Vihear, Thailand dan Kamboja sempat terlibat konflik bersenjata. Namun, dapat diselesaikan dalam kerangka kerjasama ASEAN.

Konsep penyelesaian damai yang dibangun melalui mekanisme ASEAN Regional Forum (ARF); Confidence Building Measures, Preventive Diplomacy, dan Conflict Resolution, nyatanya belum berhasil mengurangi tensi ketegangan antar pihak bersengketa. Dalam perkembangannya, meski para pemimpin ASEAN telah berkomitmen untuk menyelesaikan sengketa secara damai melalui Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea. Namun, potensi konflik tetap terbuka ditengah krisis soliditas para pemimpin ASEAN.

Dalam proses penyelesaian antar pihak bersengketa juga muncul perselisihan terkait mekanisme perundingan damai. Kamboja dan RRT mendorong penyelesaian secara bilateral, terbatas pada pihak-pihak bersengketa. Namun, Filipina dan Vietnam yang didukung oleh Amerika Serikat menghendaki penyelesaian melalui mekanisme multinasional.

Selain itu, munculnya intimidasi dari RRT dan tindakan reaktif dari pihak bersengketa lainnya, telah mengganggu hubungan kerjasama regional dan stabilitas kawasan Asia, hal ini juga bisa dikatakan sebagai bentuk 'penghinaan' terhadap kesepakatan Tata Perilaku di Laut Cina Selatan. Ini terlihat ketika Pemerintah Provinsi Hainan di RRT menjadikan Paracel sebagai destinasi wisata dan tindakan Angkatan Laut RRT yang menembaki nelayan tradisional Vietnam.

Sentralitas ASEAN

Dibutuhkan langkah nyata yang komprehensif untuk menyelesaiakan sengketa Laut Cina Selatan secara damai. Bagaimana cara ASEAN mengelola dan menyelesaikan konflik Laut Cina Selatan akan menjadi pertaruhan bagi masa depan organisasi tersebut.


ASEAN, sebagai organisasi kerjasama regional sejatinya memiliki modalitas untuk mengelola dan menyelesaikan konflik Laut Cina Selatan. Oleh karena itu, para pemimpin ASEAN harus mendorong sentralitas ASEAN dalam upaya penyelesaian damai Laut Cina Selatan. Dengan segala pengalaman dan pemikiran-pemikiran visioner yang lahir dalam setiap putaran pertemuan, sejatinya ASEAN telah memiliki sebuah mekanisme penyelesaian damai antar negara anggota maupun negara anggota dengan counterpart country.


Beberapa modalitas yang seharusnya dapat dimanfaatkan oleh ASEAN untuk menyelesaikan Konflik Laut Cina Selatan, Pertama, ZOPFAN, Zone of Peace, Freedom, and Neutrality. Konsepsi yang mendorong negara anggota ASEAN untuk menciptakan stabilitas kawasan dengan bersikap netral atas campur tangan pihak luar, baik dengan menggalang kekuatan intra kawasan maupun mengatur keterlibatan negara-negara luar kawasan. Dengan begitu, ASEAN seharusnya memiliki ‘kepercayaan diri’ untuk mendorong negara-negara anggota yang terlibat dalam sengeketa di Laut Cina Selatan untuk berkomitmen atas implementasi ZOPFAN, dengan menahan diri untuk melakukan tindakan provokatif dan reaksioner.


Kedua, Treaty of Amity and Cooperation (TAC). TAC sebagai ‘aturan main’ dalam hubungan intra ASEAN dan inter ASEAN mendorong negara-negara anggota dan mitra dialog untuk menyelesaikan konflik dan sengeketa melalui saluran, negosiasi, dan dengan semangat persahabatan. Dengan posisinya sebagai instrumen legal dalam kerangka kerjasama kawasan regional di Asia Tenggara, dimana negara mitra dialog diharuskan mengakui dan mematuhin TAC. Oleh karenanya, ASEAN harus ‘memaksa’ para pihak yang terlibat untuk berkomitmen menyelesaikan secara damai dengan tidak menggunakan ancaman atau kekuatan. Meski, jauh dari kenyataan dan kemungkinan, ASEAN juga dapat mendorong mekanisme High Council, sebagai alternatif penyelesaian sengketa. Meski tidak pernah ‘dipercaya’ oleh negara anggota, tetapi momentum ini seharusnya dapat dimanfaatkan untuk menampilkan wajah baru ASEAN paska ASEAN Charter, dimana ASEAN merupakan entitas yang memiliki legal personality.

Ketiga, ASEAN Security Community (ASC), melalui mekanisme Komunitas Keamanan ASEAN dengan enam kerangka Plan of Action-nya, (1) Political Development; (2) Shaping and Sharing Norm; (3) Conflict Prevention; (4) Conflict Resolution; (5) Post Conflict Peace Building; (6) Implementing Mechanisms. Sejatinya, ASEAN dapat mendorong pada sebuah kemajuan proses perdamaian di Laut Cina Selatan.Tidak pada kondisi saat ini, dimana RRT sering sekali melakukan manuver dan provokasi dan Vietanam serta Filipina dapat dengan mudah  terprovokasi. Komunitas yang hendak diwujudkan pada tahun 2015 ini, seharusnya disisa waktu dua tahun ini sudah menemukan ‘bentuknya’. Sehingga potensi-potensi konflik tidak seharusnya terjadi, namun dapat terfokus pada memajukan dan menegakkan keamanan individual/manusia.


Oleh karenanya, ASEAN seharusnya sudah mampu menyelesaikan permasalahan di Laut Cina Selatan. Tanpa memandang ‘kecil’ permasalahan sengketa wilayah tersebut, terlebih setelah diketahui potensi sumber daya alamnya. Namun, nilai-nilai dan konsepsi yang telah ‘ditanam’ selama 46 tahun, kini saatnya ‘dituai’ untuk membangun komunitas yang damai, makmur dan sejahtera.



Khairul Hamdan
Jakarta  Strategic Studies 


Masih Perlukah ASEAN bagi Indonesia?


Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) sejak awal dibentuk pada tanggal 8 Agustus 1967 berdasarkan Bangkok Declaration, telah berkembang pesat hingga saat ini. Seiring dengan perkembangan tersebut dan dinamika politik internasional yang telah berubah paska berakhirnya perang dingin, ASEAN dihadapkan dengan tantangan multidimensi yang tidak hanya fokus kepada stabilitas kawasan namun lebih jauh kepada conflict resolution diantara anggota ASEAN maupun negara diluar kawasan Asia Tenggara. Pada awal berdirinya ASEAN, organisasi ini bertujuan untuk membangun kepercayaan diantara negara kawasan Asia Tenggara untuk tidak berhaluan kiri atau mengikuti komunisme. ASEAN memang dibentuk untuk membendung komunisme di Asia Tenggara dimana pada masa itu Vietnam telah jatuh ke tangan komunis.


ASEAN melalui lima negara penggagas yakni Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura dan Philipina telah berhasil menciptakan kawasan Asia Tenggara yang damai dan maju dalam perekonomian. Namun seiring dengan bubarnya Uni Soviet yang menandakan berhentinya perang dingin, ASEAN membuka diri terhadap semua negara dikawasan Asia Tenggara untuk bergabung seperti Brunei Darussalam, Vietnam, Kamboja, Laos dan Myanmar. Genapnya jumlah negara ASEAN membuat ASEAN semakin kokoh sebagai organisasi kawasan dan berperan penting dalam stabilitas kawasan Asia Tenggara. ASEAN telah memperkokoh kawasan ini melalui berbagai bentuk kerjasama baik diantara sesama anggota maupudengan negara di luar ASEAN guna menjaga stabilitas kawasan. South East Asia Nuclear Free Zone (SEANWFZ), ASEAN Regional Forum (ARF), ASEAN + Three, hingga pembentukan ASEAN Community yang ditargetkan tercapai pada tahun 2015 adalah langkah yang diambil ASEAN untuk mencapai tujuannya.


Namun yang menjadi pertanyaan sejauh mana efektifitas dan keberhasilan dari kerjasama tersebut? Sebut saja ARF yang dibentuk sebagai forum dialog dan konsultasi yang berkaitan dengan politik dan keamanan di kawasan Asia Pasifik guna menghasilkan transparansi dan kepercayaan negara di kawasan. Adanya komitmen tersebut menjadikan ARF sebagai ajang diplomasi multilateral, yang dampak dari adanya diplomasi itu adalah terciptanya kawasan yang damai dan kondusif, sehingga mendukung pembangunan ekonomi di setiap negara. Selain itu, ARF juga berkomitmen untuk mengatasi konflik yang berpotensi mengganggu stabilitas kawasan.  Adanya keinginan dari negara-negara di kawasan Asia Pasifik untuk berdialog dan saling berkonsultasi merupakan prestasi sendiri bagi forum diplomasi ARF. Sebagai contoh dengan aktifnya China di ARF melalui  ASEAN + China, pengaruh Taiwan diharapkan bisa diredam sehingga keanggotaan Taiwan dalam ARF tidak akan terjadi.


Selain itu kepentingan ekonomi China juga diperjuangkan agar ASEAN tetap menjadi pasar bagi produk China.  Namun ARF juga memiliki kelemahan dimana tidak menjadi resolusi konflik bagi negara anggotanya.  ARF dalam konflik Timor Timur 1999 tidak mempunyai peran sama sekali karena menganggap masalah tersebut adalah masalah internal salah satu anggotanya. Padahal, ARF mempunyai kesempatan untuk menjadi fasilitator antara Indonesia dengan negara-negara yang mendukung intervensi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam kasus Timor Timur. Dari kasus ini juga seharusnya ARF menjadi pintu masuk resolusi konflik negara-negara anggota lainnya, sehingga menjadi preseden di masa depan. Sehingga dalam hal ini, ARF dinilai gagal dalam menjalankan diplomasi pencegahan (preventive diplomacy) dan resolusi konflik (conflict resolution).


ASEAN juga gagal dalam memediasi konflik antar sesama anggota ASEAN, seperti konflik Indonesia dan Malaysia dalam sengketa pulau atau klaim kebudayaan. Kedua negara ini tidak menggunakan mekanisme ASEAN dalam menyelesaikan konfliknya. Padahal ASEAN memiliki High Council yang dapat digunakan sebagai dispute settlement. Hal ini menggambarkan situasi kepercayaan yang memudar diantara anggota ASEAN dan tidak memiliki keinginan yang kuat dalam menyelesaikan konflik melalui jalur internal. Selain itu kelemahan dari High Council adalah hanya dapat berfungsi apabila semua negara anggota ASEAN menyetujui. Hal ini dikarenakan prinsip ASEAN yang mengedepankan kolektifitas dan dialog. Ketidakmampuan ASEAN tampil sebagai conflict solver tampaknya bersumber pada ketidakmampuan untuk mengaktifkan provisi tentang peaceful settlement of disputes. Tugas ASEAN di masa mendatang adalah mengaktifkan provisi ini dan dengan demikian dapat mendorong negara-negara anggota untuk memulai memanfaatkan High Council. Tanpa kemampuan menyelesaikan konflik internal secara menyeluruh, sulit bagi ASEAN untuk menciptakan suatu komunitas keamanan (security community).


Melihat perkembangan dan dinamika konflik internal anggotanya, ASEAN pada November 2007 lalu telah mengesahkan piagam ASEAN (ASEAN Charter)  sebagai code of conduct yang harus ditaati oleh semua anggota ASEAN. Piagam ini dibentuk sebagai “aturan main” yang jelas dan mengikat semua anggota agar dapat mencapai cita-cita ASEAN dan menghindari konflik bahkan menyelesaikan konflik diantara anggota ASEAN. Namun pada kenyataannya seluruh pasal di ASEAN Charter tidak mencantumkan sanksi yang tegas bagi anggotanya yang sedang bertikai dan tidak ada keharusan untuk menggunakan mekanisme ASEAN seperti High Council dalam penyelesaian konflik internal. Lalu untuk apa ASEAN berdiri hingga saat ini? Apa manfaat bagi negara anggotanya khususnya Indonesia? Inilah yang menjadi pertanyaan yang menarik untuk ditelaah lebih jauh mengenai peran dan fungi ASEAN bagi negara anggotanya.


Bagi Indonesia, ASEAN adalah soko guru bagi diplomasi Indonesia. Tidak bisa menyebut ASEAN tanpa peranan Indonesia didalamnya. Selain sebagai negara pendiri ASEAN, nama ASEAN pun datang dari Menlu Indonesia kala itu yakni Adam Malik. Dari tataran konsep hingga implementasi. ASEAN selalu meminta peran serta Indonesia di dalamnya. Namun hal ini berubah sejak Presiden Suharto mundur tahun 1998. ASEAN telah kehilangan pemimpinnya dan begitu pula peran Indonesia di ASEAN jadi memudar. Lalu Indonesia mendapat apa dari ASEAN saat ini? Indonesia adalah negara terbesar di ASEAN yang memiliki ribuan pulau dengan penduduk terbanyak di negeri ini. Pertunbuhan ekonomi Indonesia sebagai yang terbesar di ASEAN, yakni 6 % pada tahun 2012 dan terus meningkat tahun ini, menjadikan Indonesia sebagai driving force ekonomi di ASEAN dan bukan Singapura yang hanya menang dalam Gross National Product (GNP) di ASEAN. Menurut International Monetary Fund (IMF), GNP Singapura yakni $ 60.410 tahun 2012 dan Indonesia $ 4.977, namun pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih unggul dari Singapura yakni 6,5 % dan Singapura 4,4 %.


Dengan modal tersebut seharusnya Indonesia dapat dilihat sebagai negara yang berpengaruh besar bagi ekonomi ASEAN. Namun yang terjadi adalah justru Indonesia menjadi pasar utama produk asing baik dari negara anggota ASEAN maupun mitra ASEAN seperti China, Korea dan Jepang. Hal ini harus segera dibenahi agar ekonomi Indonesia tidak hanya menjadi pasar bagi negara lain. Infrastruktur yang belum memadai dan kurangnya modal usaha bagi UKM menjadikan beban tersendiri dan akan ditambah dengan persaingan dari negara lain yang akan secara masif menggunakan Indonesia sebagai pasar mereka. Pemerintah Indonesia harus segera melindungi produk nasionalnya, para petani dan nelayan serta para produsen lokal agar dapat bersaing dengan negara lain. Jika tidak maka Indonesia hanya menjadi pasar yang sangat menguntungkan pihak asing dan pemerintah telah gagal melindungi kepentingan nasionalnya.


Pemerintah Indonesia harus meninjau ulang perannya di ASEAN baik dari segi kepemimpinan dan bargaining position di ASEAN. Indonesia harus meniru kebijakan Jepang dan AS yang bangkit dari keterpurukan melaui kebijakan isolasi yang bersifat sementara namun berdampak besar kedepannya. Indonesia harus realistis dengan kekuatan dan kekurangan yang dimilikinya. Jangan memaksakan sesuatu yang berat dan tidak dapat ditangani karena nantinya rakyat Indonesialah yang akan menanggung akibatnya. Indonesia wajib merestorasi dirinya dari segala bidang, dan ingat negara ini memiliki semua potensi untuk berkembang dan menjadi negara maju. Diperlukan kepemimpinan yang kuat dan pembangunan yang masif di segala sektor untuk kemajuan Indonesia kedepan.

           

Angga Radian Pally
Jakarta Strategic Studies


Senin, 13 Mei 2013

Solusi Parlemen ASEAN untuk Konflik Laut China Selatan


Penempatan pasukan di Laut China Selatan oleh beberapa negara-negara yang bersengketa mencengangkan masyarakat ASEAN. Upaya gagah-gagahan ini seakan ingin mencederai mitos ASEAN  yang kondang sebagai organisasi kawasan tanpa konflik terbuka sejak berdiri hampir 46 tahun yang lalu.

Eskalasi sengketa klaim teritorial ini pun menuai kegaduhan politik dan menyayat kepekaan keamanan kawasan. Tidak cukup sampai disitu, konflik ini juga telah menjadi pemicu kegagalan ASEAN untuk kali pertama dalam menyepakati sebuah Joint Communique pada pertemuan ASEAN Ministerial Meeting ke-45 di Phnom Penh bulan Juli tahun lalu. Indonesia sebagai Anggota ASEAN yang ‘dituakan’ tak tinggal diam dan langsung bereaksi mengusulkan ASEAN’s Six-Point Principles on the South China Sea demi menyelamatkan muka ASEAN. Selepas itu, dalam Sidang Umum PBB September tahun lalu, Indonesia kembali menyodorkan draf Code of Conduct yang mengatur lalu lintas di Laut China Selatan sebagai jalan keluar bagi kebuntuan penyelesaian sengketa tersebut.
                                                        
Jika ASEAN, yang didominasi oleh kerja pemerintah negara-negara Asia Tenggara ini, telah dianggap gagal dalam meredam ancaman atas konflik tersebut, kemudian apa back-up plan nya? Mungkin kita patut memberi ruang bagi peran Parlemen ASEAN atau ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) dalam permasalahan ini. Dalam panggung diplomasi, peran parlemen dicirikan sebagai diplomasi jalur kedua atau yang lebih popular dengan istilah second-track diplomacy.


Diplomasi parlemen “cari aman”

Kedewasaan demokrasi negara-negara ASEAN memang sangat beragam, alhasil kemampuan parlemen di dalam menentukan arah kebijakan pun variatif, namun eksistensi parlemen dalam kerangka diplomasi ASEAN tak terbantahkan. Hal ini dapat ditelusuri di dalam Sidang Umum ke-33 AIPA yang September tahun lalu dilangsungkan di Lombok. Dalam perhelatan tahunan tersebut, AIPA berhasil menyepakati sebuah Joint Communiqué yang di dalamnya terurai komitmen semua negara anggota AIPA serta para mitra wicaranya untuk menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan.

Walaupun AIPA tidak membicarakan secara khusus tentang permasalahan Laut China Selatan namun mereka merujuk ASEAN’s Six-Point Principles sebagai acuan untuk meretas jalan bagi penciptaan kawasan yang lebih aman dan stabil. Alur diplomasi parlemen “cari aman” ala AIPA yang mengkultuskan harmoni yang berujung kepada absensi pembahasan Laut China Selatan di Sidang Umum tersebut dianggap sebagai pilihan yang rasional. Aktivisme diplomasi ini menawarkan jalan tengah yang berhasil meredam gejolak akrobat politik yang dilakukan setidaknya oleh tiga parlemen anggota AIPA yakni parlemen Kamboja, Vietnam dan Filipina.


Tiga tawaran solusi

Diplomasi parlemen “cari aman” ini terbukti cukup jitu di dalam menciptakan atmosfer sidang yang relatif kondusif sehingga memberi ruang bagi parlemen anggota AIPA untuk bernafas lega dan akhirnya sepakat menorehkan Joint Communiqué di akhir sidang. Namun, tidak selamanya AIPA dapat menghindar dari pembahasan tentang Laut China Selatan. Permasalahan ini adalah pekerjaan rumah yang harus dipikul bersama. AIPA seharusnya tidak menceburkan diri menjadi sekedar warung arisan yang penuh basa-basi (talk shop) tanpa solusi bergigi seperti yang selama ini terjadi ketika AIPA berhadapan dengan isu-isu strategis yang menyeruak dan menyandera kepentingan masing-masing anggotanya. Untuk itu, AIPA harus segera berbenah dan tampil dengan tawaran solusi yang efektif.

Untuk itu, setidaknya terdapat tiga solusi yang dapat diusung oleh AIPA yaitu pertama, menguatkan tali kemitraan dengan Parlemen China untuk bekerja keras bersama-sama mencari solusi yang dapat diterima oleh semua pihak sesuai semangat kebersamaan yang telah terukir pada tahun 2003 lalu melalui Joint Declaration of the Heads of State/Government of the ASEAN-China Strategic Partnership for Peace and Prosperity. Parlemen anggota AIPA harus satu suara di dalam berkomunikasi dengan Parlemen China. Sentralitas AIPA tidak boleh ditawar-tawar lagi. Akan tetapi, ini bukan berarti memposisikan Parlemen China sebagai musuh bersama. Melainkan, ikhtiar merapatkan barisan untuk memetakan permasalahan ke dalam dua alur yang dapat saling bersinerji yaitu alur kepentingan nasional China dan penguatan kolektivitas ASEAN.

Kedua, membentuk semacam AIPA Eminent Persons Group (AIPA EPG) yang anggotanya terdiri dari para perwakilan parlemen negara-negara anggota AIPA untuk meramu saran solusi untuk membantu ASEAN menyelesaikan sengketa ini. AIPA harus mulai berfikir dan bertindak di luar kebiasaan (out of the box). Jangan hanya monoton menggunakan kekuasaannya di bidang legislasi, anggaran dan pengawasan saja. AIPA harus mampu tampil memetakan rekomendasi strategis melalui telaah komprehensif atas masalah konflik Laut China Selatan ini.

Ketiga, apapun rekomendasi yang ditawarkan AIPA EPG nantinya harus disinerjikan dengan upaya ASEAN terkait dengan draf Code of Conduct yang sedang digagas oleh Indonesia. Sinerji ini mensyaratkan arus komunikasi birokrasi yang lapang. Di titik inilah, peran Sekretariat AIPA sangat substansial. Pola komunikasi Sekretariat ASEAN dan AIPA yang selama ini terkesan sangat formal dan kaku harus dicairkan. Duet Sekretariat ini merupakan garda terdepan di dalam mentransliterasi kebijakan kawasan menjadi kerja riil di lapangan.

Jika ketiga tawaran solusi tersebut dapat terlaksana maka AIPA akan menorehkan sejarah baru dengan merevitalisasi posisinya di dalam kancah diplomasi regional apalagi mandat legitimasi rakyat terhadap parlemen sangat kuat sebagai konsekuensi dari perubahan irama politik ASEAN yang saat ini cenderung lebih demokratis. Jika demikian, maka tujuan ASEAN menjadikan organisasi ini lebih terpusatkan kepada peran masyarakatnya (more people centered) bukanlah isapan jempol belaka ketika AIPA semakin kokoh dan bergigi.

Yudha Akbar Pally
Jakarta Strategic Studies

Membangun Peran Masyarakat Dalam Kemajuan dan Penegakan HAM, Paska Deklarasi HAM ASEAN


Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di ASEAN tidak mengalami kemajuan yang berarti sepanjang satu dekade terakhir, meski telah terjadi reformasi di beberapa negara anggota seperti Indonesia dan Myanmar. Namun reformasi di Myanmar tidak membawa dampak signifikan bagi penghormatan, kemajuan, dan penegakan HAM, pelanggaran dan itimidasi terhadap etnis minoritas masih terus berlangsung, bahkan setelah kunjungan Presiden Obama sekalipun masih banyak tahanan politik yang dipenjara. Begitu halnya dengan beberapa negara di Asia Tenggara, tidak terkecuali di Indonesia. Kebebasan berserikat dan berkumpul yang sejatinya dijamin oleh konstitusi UUD NRI 1945, mengalami distorsi dalam RUU Ormas (revisi UU No.8/1985 tentang Ormas). Misalnya tentang penerapan asas tunggal, Pancasila, tentu akan menimbulkan tindakan represif dari pemerintah atas beberapa ormas Islam yang memiliki asas Islam, ataupun gabungan dari kedua asas tersebut. Belum lagi prihal legalitas yang harus berbentuk badan hukum yayasan atau badan hukum perkumpulan, dimana Ormas dapat dilarang melakukan kegiatan bila tidak memilik surat pengesahan badan hukum atau tidak terdaftar pada pemerintah.

Pencapaian luar biasa para pemimpin ASEAN yang berhasil mendeklarasikan HAM ASEAN dalam KTT ASEAN di Phnom Penh, Kamboja pada Ahad, 18 November 2012  seolah tidak lebih sebagai pemanis dan aksesoris bagi sebuah organisasi yang telah berdiri sejak 8 Agustus 1967. Bila dibandingkan dengan kerjasama regional di kawasan Eropa, Amerika bahkan Afrika, ASEAN terhitung lamban dalam mengadopsi nilai-nilai Universal HAM PBB menjadi sebuah mekanisme regional. Bahkan kawasan Afrika yang memiliki disparitas pertumbuhan ekonomi antar negara-negara anggotanya yang cukup lebar, telah lebih dulu mengadopsi African Commission on Human and Peoples’ Rights dan African Court on Human and Peoples’ Rights untuk memajukan dan menegakkan African Charter on Human Peoples’ Rights.

Tidak bisa dinafikkan bahwa negara-negara ASEAN masih memegang teguh prinsip non-interference antar sesama anggota. Namun sejatinya prinsip tersebut bukan halangan dalam menciptakan sebuah tatanan masyarakat yang adil dan beradab. Setidaknya kita dapat belajar dari krisis kemanusian yang terjadi di Myanmar terhadap kelompok minoritas muslim Rohingya dimana ASEAN sangat sulit melakukan intervensi kemanusian, terlebih sebuah intervensi politik. Untuk itu, menjadi pekerjaan rumah bagi para pemimpin ASEAN untuk mampu menciptakan sebuah kepemimpinan kolektif yang harmonis, dinamis, dan selaras antara kolektifitas kepemimpinan, sensitifitas isu dan prinsip solidaritas kemanusian. Dimana keberadaan nilai-nilai tersebut bersumber dari kearifan lokal masyarakat ASEAN, yang sejatinya memposisikan hak-hak dasar manusia pada posisi tertinggi.

Oleh karenanya, Deklarasi HAM ASEAN yang sejak perumusannya tidak melibatkan berbagai pemangku kepentingan di ASEAN seperti kelompok LSM dan masyarakat madani. Bahkan cenderung memberikan ruang toleransi terhadap pelanggaran HAM bila bersinggungan dengan keamanan publik, moral publik dan ketertiban publik. dapat menjadi milestone bagi sebuah pencapaian di masa depan.  Deklarasi HAM ASEAN dapat menjadi sebuah energi baru bagi upaya memajukan dan menegakkan HAM di ASEAN oleh masyarakat ASEAN itu sendiri. Karena hakekat sejati kerjasama ASEAN tertumpu pada masyarakatnya, people oriented.

Kehendak individu warga negara di negara-negara ASEAN untuk menciptakan sebuah komunitas yang dinamis, dimana HAM menjadi salah satu pilar dalam memmbangun tatanan masyarakat ASEAN adalah sebuah keniscayaan di masa depan yang tidak bisa dinafikkan oleh para pemimpin di ASEAN. Meski refomasi struktural kepemimpinan bukan yang utama dalam menciptakan masyarakat sejahtera. Dan setiap negara anggota memiliki identitas politik, ekonomi dan sosial budaya yang khas. Keberadaan Deklarasi HAM ASEAN dapat menjadi ruh dalam melahirkan kebijkan nasional inklusif dan berorientasi pada pembangunan manusia.    

Untuk itu, masyarakat sebagai kekuatan utama di ASEAN dituntut mampu memberikan daya dorong dalam perubahan tatanan kehidupan di ASEAN. Indonesia paska Gerakan Reformasi 1998, terus berproses dan bermetamorfosa dalam menciptakan sebuah tatanan kehidupan demokrasi yang ideal, tentu menurut standar dan nilai keindonesiaan. Meski dirasakan masih banyak pekerjaan rumah tersisi, namun setiap pencapain adalah sebuah prestasi.

Deklarasi HAM ASEAN sejatinya tidak lebih dari sebuah norma atau code of conduct untuk menciptakan sebuah tatanan masyarakat yang adil dan beradab. Namun kesejatian nilai HAM terletak pada kehendak baik kelompok mayoritas untuk melindungi kelompok minoritas dan penghormatan kelompok minoritas terhadap mayoritas. Dimana kemajuan dan penegakan nilai HAM di ASEAN tidak akan ditentukan oleh kualitas Deklarasi HAM itu sendiri, namun oleh keinginan masyarakatnya untuk menciptakan sebuah kehidupan yang harmonis, dinamis, dan soliditas dalam keberagaman, unitiy in diversity.


Khairul Hamdan
Jakarta Strategic Studies

Sustainable Development Goals: Legacy Kebijakan Luar Negeri SBY



Hiruk pikuk perhelatan aktivitas diplomasi minggu ini telah mewarnai keindahan dan kesejukan pulau dewata Bali. Bali kembali menjadi saksi sebuah proses negosiasi bertaraf internasional yang meramu sebuah kerangka kesepakatan penting untuk menopang pembangunan global paska target pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) berakhir pada tahun 2015.


Momentum diplomasi ini dibalut dalam tematik The 4th High Level Panel Meeting on Post-2015 MDGs. Yang menarik adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didaulat menjadi salah satu pemimpin Panel bersama dengan PM Inggris dan Presiden Liberia. Posisi strategis ini dimandatkan oleh Sekretaris-Jenderal PBB Ban Ki-moon pada pertengahan tahun lalu yang menggarisbawahi perlunya dunia membuat target tujuan pembangunan baru setelah MDGs berakhir.


Atraksi mesin diplomasi untuk menciptakan kerangka ini telah mengerucut kepada kesamaan pendapat untuk menamainya Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Para anggota Panel dan pemangku kepentingan termasuk masyarakat madani, korporasi-korporasi internasional, Lembaga Swadaya Masyarakat, media, dll saling berbagai pandangan bahwa  pembangunan harus bersifat berkelanjutan dan mencakup semua sendi kehidupan dan tidak hanya soal ekonomi melulu. Panel berada dalam satu barisan untuk menjadikan SDGs sebuah agenda pembangunan global yang koheren yang mensinerjikan tiga faktor penting di dalam pembangunan modern yakni pertumbuhan ekonomi, (economic growth), inklusi sosial (social inclusion), dan pelestarian lingkungan (environmental sustainability).


Peran diplomasi Presiden Yudhoyono tentu sangat penting. Sebagai pemimpin sebuah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia yang saat ini juga menjadi salah satu dari 20 negara dengan tingkat perekonomian terbaik di dunia yang memiliki nilai pertumbuhan ekonomi diatas 6% per tahun, jelas memoles sosok kepemimpinan yang layak untuk menakhodai Panel ini.

Meskipun alur dan dinamika diplomasi untuk menciptakan SDGs ini belum berakhir, namun terurai beberapa hal strategis yang dapat menjadi nilai tersendiri bagi kepemimpinan Presiden Yudhoyono.


Pertama, SDGs merupakan raihan atas kerja diplomatic activism kebijakan luar negeri Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Yudhoyono. Capaian ini tentu akan menjadi legacy atau warisan yang berfungsi sebagai indikator untuk mengkalkulasi keberhasilan pemerintahan ini di dalam menjalankan roda kebijakan luar negerinya. Selain itu, warisan ini pun akan menjadi alat analisa (tool of analysis) yang akan dicatat oleh buku-buku sejarah nantinya bahwa telah lahir sebuah konsep pembangunan berkelanjutan global yang dibidani salah satunya oleh Indonesia.


Kedua, jika SDGs nantinya disepakati, maka skema kemitraan global akan terkonsentrasi kepada target pencapain SDGs dan menjadi panduan pembangunan berkelanjutan di masa datang. Alhasil, SDGs akan menjadi episentrum diskursus internasional yang tentunya memerlukan polesan-polesan kepemimpinan Indonesia di dalam merealisasikan target SDGs itu sendiri. Apabila Indonesia dapat menjalankan peran tersebut, maka Indonesia dapat disejajarkan dengan segelintir negara-negara dunia yang memiliki andil di dalam merajut keberlangsungan peradaban global, setidaknya di dalam dimensi perkembangan ekonomi berkelanjutan.


Ketiga, Jika SDGs ini berhasil disepakati dan direalisasikan maka profil Indonesia dan tentunya, Presiden Yudhoyono, akan meroket. Secara personal, keberhasilan ini akan memberi “panggung internasional” baru bagi Presiden Yudhoyono paska 2014. Sederet jabatan internasional ataupun posisi sebagai Special Representative Sekretaris-Jenderal PBB atau jabatan lainnya bukanlah hal yang impossible dapat digenggam oleh Presiden Yudhoyono.


Namun, Presiden Yudhoyono tentunya tidak akan berfikir terlalu jauh tentang jabatan internasional paska lengser dari Istana Negara. Yang lebih penting untuk dilakukan adalah bagaimana agar SDGs ini dapat diwujudkan dengan mendapat dukungan dan kontribusi peran dari seluruh pemangku kepentingan di jagat ini. Presiden Yudhoyono juga harus mampu untuk menjembatani perbedaan diantaranya tentang maksimalisasi peran pasar di dalam kerangka SDGs ini.



Yudha Akbar Pally
 Jakarta Strategic Studies