Ekonomi Republik Rakyat
Tiongkok (RRT) yang tumbuh rata-rata sebesar 9% per tahun selama satu dekade
terakhir telah merubah peta perekonomian dunia. Pertumbuhan ekonomi RRT juga
disertai peningkatan anggaran militer sebesar 15-20 persen selama kurun waktu 2005-2009,
dimana setelahnya anggaran tersebut naik sekitar 10-11 persen. Meski hanya
sebesar 1,3-1,8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Peningkatan anggaran
tersebut telah menimbulkan kekhawatiran atas potensi munculnya konflik terbuka
di kawasan Asia, khususnya atas sengketa di Laut Cina Selatan.
Meski pertumbuhan ekonomi
RRT berimplikasi positif terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi dan investasi
di negara-negara berkembang, utamanya kawasan Asia Tenggara. Kekuatan ekonomi
dan militer RRT telah mengganggu status
quo di Laut Cina
Selatan. Eskalasi konflik telah menimbulkan spekulasi kemungkinan terjadinya
konflik bersenjata.
Selama hampir 46 tahun Association of Southeast Asian
Nations (ASEAN) berhasil
menjadi organisasi yang solid dan dinamis. Konflik terbuka nyaris tidak pernah
terjadi secara masif. Sengketa wilayah yang bersifat bilateral, pelanggaran
HAM, demokratisasi, dan isu terorisme lebih mendominasi kerjasama regional
ASEAN. Meski atas sengketa Kuil Preah Vihear, Thailand dan Kamboja sempat
terlibat konflik bersenjata. Namun, dapat diselesaikan dalam kerangka kerjasama
ASEAN.
Konsep penyelesaian damai
yang dibangun melalui mekanisme ASEAN
Regional Forum (ARF); Confidence Building Measures,
Preventive Diplomacy, dan Conflict Resolution, nyatanya
belum berhasil mengurangi tensi ketegangan antar pihak bersengketa. Dalam
perkembangannya, meski para pemimpin ASEAN telah berkomitmen untuk
menyelesaikan sengketa secara damai melalui Declaration
on the Conduct of Parties in the South China Sea. Namun, potensi konflik
tetap terbuka ditengah krisis soliditas para pemimpin ASEAN.
Dalam proses penyelesaian
antar pihak bersengketa juga muncul perselisihan terkait mekanisme perundingan
damai. Kamboja dan RRT mendorong penyelesaian secara bilateral, terbatas pada
pihak-pihak bersengketa. Namun, Filipina dan Vietnam yang didukung oleh Amerika
Serikat menghendaki penyelesaian melalui mekanisme multinasional.
Selain itu, munculnya
intimidasi dari RRT dan tindakan reaktif dari pihak bersengketa lainnya, telah
mengganggu hubungan kerjasama regional dan stabilitas kawasan Asia, hal ini
juga bisa dikatakan sebagai bentuk 'penghinaan' terhadap kesepakatan Tata
Perilaku di Laut Cina Selatan. Ini terlihat ketika Pemerintah Provinsi Hainan
di RRT menjadikan Paracel sebagai destinasi wisata dan tindakan Angkatan Laut
RRT yang menembaki nelayan tradisional Vietnam.
Sentralitas ASEAN
Dibutuhkan langkah nyata
yang komprehensif untuk menyelesaiakan sengketa Laut Cina Selatan secara damai.
Bagaimana cara ASEAN mengelola dan menyelesaikan konflik Laut Cina Selatan akan
menjadi pertaruhan bagi masa depan organisasi tersebut.
ASEAN, sebagai organisasi
kerjasama regional sejatinya memiliki modalitas untuk mengelola dan
menyelesaikan konflik Laut Cina Selatan. Oleh karena itu, para pemimpin ASEAN
harus mendorong sentralitas ASEAN dalam upaya penyelesaian damai Laut Cina
Selatan. Dengan segala pengalaman dan pemikiran-pemikiran visioner yang lahir
dalam setiap putaran pertemuan, sejatinya ASEAN telah memiliki sebuah mekanisme
penyelesaian damai antar negara anggota maupun negara anggota dengan counterpart country.
Beberapa modalitas yang
seharusnya dapat dimanfaatkan oleh ASEAN untuk menyelesaikan Konflik Laut Cina
Selatan, Pertama, ZOPFAN, Zone of Peace, Freedom, and
Neutrality. Konsepsi yang mendorong negara anggota ASEAN untuk menciptakan
stabilitas kawasan dengan bersikap netral atas campur tangan pihak luar, baik
dengan menggalang kekuatan intra kawasan maupun mengatur keterlibatan
negara-negara luar kawasan. Dengan begitu, ASEAN seharusnya memiliki
‘kepercayaan diri’ untuk mendorong negara-negara anggota yang terlibat dalam
sengeketa di Laut Cina Selatan untuk berkomitmen atas implementasi ZOPFAN,
dengan menahan diri untuk melakukan tindakan provokatif dan reaksioner.
Kedua, Treaty of Amity
and Cooperation (TAC). TAC sebagai
‘aturan main’ dalam hubungan intra ASEAN dan inter ASEAN mendorong
negara-negara anggota dan mitra dialog untuk menyelesaikan konflik dan
sengeketa melalui saluran, negosiasi, dan dengan semangat persahabatan. Dengan
posisinya sebagai instrumen legal dalam kerangka kerjasama kawasan regional di
Asia Tenggara, dimana negara mitra dialog diharuskan mengakui dan mematuhin
TAC. Oleh karenanya, ASEAN harus ‘memaksa’ para pihak yang terlibat untuk
berkomitmen menyelesaikan secara damai dengan tidak menggunakan ancaman atau
kekuatan. Meski, jauh dari kenyataan dan kemungkinan, ASEAN juga dapat
mendorong mekanisme High
Council, sebagai alternatif penyelesaian sengketa. Meski tidak pernah
‘dipercaya’ oleh negara anggota, tetapi momentum ini seharusnya dapat
dimanfaatkan untuk menampilkan wajah baru ASEAN paska ASEAN Charter, dimana
ASEAN merupakan entitas yang memiliki legal
personality.
Ketiga, ASEAN Security
Community (ASC), melalui mekanisme
Komunitas Keamanan ASEAN dengan enam kerangka Plan
of Action-nya, (1) Political
Development; (2) Shaping
and Sharing Norm; (3) Conflict
Prevention; (4) Conflict
Resolution; (5) Post
Conflict Peace Building; (6) Implementing
Mechanisms. Sejatinya, ASEAN dapat mendorong pada sebuah kemajuan proses
perdamaian di Laut Cina Selatan.Tidak pada kondisi saat ini, dimana RRT sering
sekali melakukan manuver dan provokasi dan Vietanam serta Filipina dapat dengan
mudah terprovokasi. Komunitas yang hendak diwujudkan pada tahun 2015 ini,
seharusnya disisa waktu dua tahun ini sudah menemukan ‘bentuknya’. Sehingga
potensi-potensi konflik tidak seharusnya terjadi, namun dapat terfokus pada
memajukan dan menegakkan keamanan individual/manusia.
Oleh karenanya, ASEAN
seharusnya sudah mampu menyelesaikan permasalahan di Laut Cina Selatan. Tanpa
memandang ‘kecil’ permasalahan sengketa wilayah tersebut, terlebih setelah
diketahui potensi sumber daya alamnya. Namun, nilai-nilai dan konsepsi yang
telah ‘ditanam’ selama 46 tahun, kini saatnya ‘dituai’ untuk membangun
komunitas yang damai, makmur dan sejahtera.
Khairul Hamdan
Jakarta Strategic Studies
Jakarta Strategic Studies
Tidak ada komentar:
Posting Komentar