Selasa, 14 Mei 2013

Konflik Laut Cina Selatan, Pertaruhan Masa Depan ASEAN


Ekonomi Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang tumbuh rata-rata sebesar 9% per tahun selama satu dekade terakhir telah merubah peta perekonomian dunia. Pertumbuhan ekonomi RRT juga disertai peningkatan anggaran militer sebesar 15-20 persen selama kurun waktu 2005-2009, dimana setelahnya anggaran tersebut naik sekitar 10-11 persen. Meski hanya sebesar 1,3-1,8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Peningkatan anggaran tersebut telah menimbulkan kekhawatiran atas potensi munculnya konflik terbuka di kawasan Asia, khususnya atas sengketa di Laut Cina Selatan.

Meski pertumbuhan ekonomi RRT berimplikasi positif terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi dan investasi di negara-negara berkembang, utamanya kawasan Asia Tenggara. Kekuatan ekonomi dan militer RRT telah mengganggu status quo di Laut Cina Selatan. Eskalasi konflik telah menimbulkan spekulasi kemungkinan terjadinya konflik bersenjata.

Selama hampir 46 tahun Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) berhasil menjadi organisasi yang solid dan dinamis. Konflik terbuka nyaris tidak pernah terjadi secara masif. Sengketa wilayah yang bersifat bilateral, pelanggaran HAM, demokratisasi, dan isu terorisme lebih mendominasi kerjasama regional ASEAN. Meski atas sengketa Kuil Preah Vihear, Thailand dan Kamboja sempat terlibat konflik bersenjata. Namun, dapat diselesaikan dalam kerangka kerjasama ASEAN.

Konsep penyelesaian damai yang dibangun melalui mekanisme ASEAN Regional Forum (ARF); Confidence Building Measures, Preventive Diplomacy, dan Conflict Resolution, nyatanya belum berhasil mengurangi tensi ketegangan antar pihak bersengketa. Dalam perkembangannya, meski para pemimpin ASEAN telah berkomitmen untuk menyelesaikan sengketa secara damai melalui Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea. Namun, potensi konflik tetap terbuka ditengah krisis soliditas para pemimpin ASEAN.

Dalam proses penyelesaian antar pihak bersengketa juga muncul perselisihan terkait mekanisme perundingan damai. Kamboja dan RRT mendorong penyelesaian secara bilateral, terbatas pada pihak-pihak bersengketa. Namun, Filipina dan Vietnam yang didukung oleh Amerika Serikat menghendaki penyelesaian melalui mekanisme multinasional.

Selain itu, munculnya intimidasi dari RRT dan tindakan reaktif dari pihak bersengketa lainnya, telah mengganggu hubungan kerjasama regional dan stabilitas kawasan Asia, hal ini juga bisa dikatakan sebagai bentuk 'penghinaan' terhadap kesepakatan Tata Perilaku di Laut Cina Selatan. Ini terlihat ketika Pemerintah Provinsi Hainan di RRT menjadikan Paracel sebagai destinasi wisata dan tindakan Angkatan Laut RRT yang menembaki nelayan tradisional Vietnam.

Sentralitas ASEAN

Dibutuhkan langkah nyata yang komprehensif untuk menyelesaiakan sengketa Laut Cina Selatan secara damai. Bagaimana cara ASEAN mengelola dan menyelesaikan konflik Laut Cina Selatan akan menjadi pertaruhan bagi masa depan organisasi tersebut.


ASEAN, sebagai organisasi kerjasama regional sejatinya memiliki modalitas untuk mengelola dan menyelesaikan konflik Laut Cina Selatan. Oleh karena itu, para pemimpin ASEAN harus mendorong sentralitas ASEAN dalam upaya penyelesaian damai Laut Cina Selatan. Dengan segala pengalaman dan pemikiran-pemikiran visioner yang lahir dalam setiap putaran pertemuan, sejatinya ASEAN telah memiliki sebuah mekanisme penyelesaian damai antar negara anggota maupun negara anggota dengan counterpart country.


Beberapa modalitas yang seharusnya dapat dimanfaatkan oleh ASEAN untuk menyelesaikan Konflik Laut Cina Selatan, Pertama, ZOPFAN, Zone of Peace, Freedom, and Neutrality. Konsepsi yang mendorong negara anggota ASEAN untuk menciptakan stabilitas kawasan dengan bersikap netral atas campur tangan pihak luar, baik dengan menggalang kekuatan intra kawasan maupun mengatur keterlibatan negara-negara luar kawasan. Dengan begitu, ASEAN seharusnya memiliki ‘kepercayaan diri’ untuk mendorong negara-negara anggota yang terlibat dalam sengeketa di Laut Cina Selatan untuk berkomitmen atas implementasi ZOPFAN, dengan menahan diri untuk melakukan tindakan provokatif dan reaksioner.


Kedua, Treaty of Amity and Cooperation (TAC). TAC sebagai ‘aturan main’ dalam hubungan intra ASEAN dan inter ASEAN mendorong negara-negara anggota dan mitra dialog untuk menyelesaikan konflik dan sengeketa melalui saluran, negosiasi, dan dengan semangat persahabatan. Dengan posisinya sebagai instrumen legal dalam kerangka kerjasama kawasan regional di Asia Tenggara, dimana negara mitra dialog diharuskan mengakui dan mematuhin TAC. Oleh karenanya, ASEAN harus ‘memaksa’ para pihak yang terlibat untuk berkomitmen menyelesaikan secara damai dengan tidak menggunakan ancaman atau kekuatan. Meski, jauh dari kenyataan dan kemungkinan, ASEAN juga dapat mendorong mekanisme High Council, sebagai alternatif penyelesaian sengketa. Meski tidak pernah ‘dipercaya’ oleh negara anggota, tetapi momentum ini seharusnya dapat dimanfaatkan untuk menampilkan wajah baru ASEAN paska ASEAN Charter, dimana ASEAN merupakan entitas yang memiliki legal personality.

Ketiga, ASEAN Security Community (ASC), melalui mekanisme Komunitas Keamanan ASEAN dengan enam kerangka Plan of Action-nya, (1) Political Development; (2) Shaping and Sharing Norm; (3) Conflict Prevention; (4) Conflict Resolution; (5) Post Conflict Peace Building; (6) Implementing Mechanisms. Sejatinya, ASEAN dapat mendorong pada sebuah kemajuan proses perdamaian di Laut Cina Selatan.Tidak pada kondisi saat ini, dimana RRT sering sekali melakukan manuver dan provokasi dan Vietanam serta Filipina dapat dengan mudah  terprovokasi. Komunitas yang hendak diwujudkan pada tahun 2015 ini, seharusnya disisa waktu dua tahun ini sudah menemukan ‘bentuknya’. Sehingga potensi-potensi konflik tidak seharusnya terjadi, namun dapat terfokus pada memajukan dan menegakkan keamanan individual/manusia.


Oleh karenanya, ASEAN seharusnya sudah mampu menyelesaikan permasalahan di Laut Cina Selatan. Tanpa memandang ‘kecil’ permasalahan sengketa wilayah tersebut, terlebih setelah diketahui potensi sumber daya alamnya. Namun, nilai-nilai dan konsepsi yang telah ‘ditanam’ selama 46 tahun, kini saatnya ‘dituai’ untuk membangun komunitas yang damai, makmur dan sejahtera.



Khairul Hamdan
Jakarta  Strategic Studies 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar