Selasa, 14 Mei 2013

Masih Perlukah ASEAN bagi Indonesia?


Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) sejak awal dibentuk pada tanggal 8 Agustus 1967 berdasarkan Bangkok Declaration, telah berkembang pesat hingga saat ini. Seiring dengan perkembangan tersebut dan dinamika politik internasional yang telah berubah paska berakhirnya perang dingin, ASEAN dihadapkan dengan tantangan multidimensi yang tidak hanya fokus kepada stabilitas kawasan namun lebih jauh kepada conflict resolution diantara anggota ASEAN maupun negara diluar kawasan Asia Tenggara. Pada awal berdirinya ASEAN, organisasi ini bertujuan untuk membangun kepercayaan diantara negara kawasan Asia Tenggara untuk tidak berhaluan kiri atau mengikuti komunisme. ASEAN memang dibentuk untuk membendung komunisme di Asia Tenggara dimana pada masa itu Vietnam telah jatuh ke tangan komunis.


ASEAN melalui lima negara penggagas yakni Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura dan Philipina telah berhasil menciptakan kawasan Asia Tenggara yang damai dan maju dalam perekonomian. Namun seiring dengan bubarnya Uni Soviet yang menandakan berhentinya perang dingin, ASEAN membuka diri terhadap semua negara dikawasan Asia Tenggara untuk bergabung seperti Brunei Darussalam, Vietnam, Kamboja, Laos dan Myanmar. Genapnya jumlah negara ASEAN membuat ASEAN semakin kokoh sebagai organisasi kawasan dan berperan penting dalam stabilitas kawasan Asia Tenggara. ASEAN telah memperkokoh kawasan ini melalui berbagai bentuk kerjasama baik diantara sesama anggota maupudengan negara di luar ASEAN guna menjaga stabilitas kawasan. South East Asia Nuclear Free Zone (SEANWFZ), ASEAN Regional Forum (ARF), ASEAN + Three, hingga pembentukan ASEAN Community yang ditargetkan tercapai pada tahun 2015 adalah langkah yang diambil ASEAN untuk mencapai tujuannya.


Namun yang menjadi pertanyaan sejauh mana efektifitas dan keberhasilan dari kerjasama tersebut? Sebut saja ARF yang dibentuk sebagai forum dialog dan konsultasi yang berkaitan dengan politik dan keamanan di kawasan Asia Pasifik guna menghasilkan transparansi dan kepercayaan negara di kawasan. Adanya komitmen tersebut menjadikan ARF sebagai ajang diplomasi multilateral, yang dampak dari adanya diplomasi itu adalah terciptanya kawasan yang damai dan kondusif, sehingga mendukung pembangunan ekonomi di setiap negara. Selain itu, ARF juga berkomitmen untuk mengatasi konflik yang berpotensi mengganggu stabilitas kawasan.  Adanya keinginan dari negara-negara di kawasan Asia Pasifik untuk berdialog dan saling berkonsultasi merupakan prestasi sendiri bagi forum diplomasi ARF. Sebagai contoh dengan aktifnya China di ARF melalui  ASEAN + China, pengaruh Taiwan diharapkan bisa diredam sehingga keanggotaan Taiwan dalam ARF tidak akan terjadi.


Selain itu kepentingan ekonomi China juga diperjuangkan agar ASEAN tetap menjadi pasar bagi produk China.  Namun ARF juga memiliki kelemahan dimana tidak menjadi resolusi konflik bagi negara anggotanya.  ARF dalam konflik Timor Timur 1999 tidak mempunyai peran sama sekali karena menganggap masalah tersebut adalah masalah internal salah satu anggotanya. Padahal, ARF mempunyai kesempatan untuk menjadi fasilitator antara Indonesia dengan negara-negara yang mendukung intervensi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam kasus Timor Timur. Dari kasus ini juga seharusnya ARF menjadi pintu masuk resolusi konflik negara-negara anggota lainnya, sehingga menjadi preseden di masa depan. Sehingga dalam hal ini, ARF dinilai gagal dalam menjalankan diplomasi pencegahan (preventive diplomacy) dan resolusi konflik (conflict resolution).


ASEAN juga gagal dalam memediasi konflik antar sesama anggota ASEAN, seperti konflik Indonesia dan Malaysia dalam sengketa pulau atau klaim kebudayaan. Kedua negara ini tidak menggunakan mekanisme ASEAN dalam menyelesaikan konfliknya. Padahal ASEAN memiliki High Council yang dapat digunakan sebagai dispute settlement. Hal ini menggambarkan situasi kepercayaan yang memudar diantara anggota ASEAN dan tidak memiliki keinginan yang kuat dalam menyelesaikan konflik melalui jalur internal. Selain itu kelemahan dari High Council adalah hanya dapat berfungsi apabila semua negara anggota ASEAN menyetujui. Hal ini dikarenakan prinsip ASEAN yang mengedepankan kolektifitas dan dialog. Ketidakmampuan ASEAN tampil sebagai conflict solver tampaknya bersumber pada ketidakmampuan untuk mengaktifkan provisi tentang peaceful settlement of disputes. Tugas ASEAN di masa mendatang adalah mengaktifkan provisi ini dan dengan demikian dapat mendorong negara-negara anggota untuk memulai memanfaatkan High Council. Tanpa kemampuan menyelesaikan konflik internal secara menyeluruh, sulit bagi ASEAN untuk menciptakan suatu komunitas keamanan (security community).


Melihat perkembangan dan dinamika konflik internal anggotanya, ASEAN pada November 2007 lalu telah mengesahkan piagam ASEAN (ASEAN Charter)  sebagai code of conduct yang harus ditaati oleh semua anggota ASEAN. Piagam ini dibentuk sebagai “aturan main” yang jelas dan mengikat semua anggota agar dapat mencapai cita-cita ASEAN dan menghindari konflik bahkan menyelesaikan konflik diantara anggota ASEAN. Namun pada kenyataannya seluruh pasal di ASEAN Charter tidak mencantumkan sanksi yang tegas bagi anggotanya yang sedang bertikai dan tidak ada keharusan untuk menggunakan mekanisme ASEAN seperti High Council dalam penyelesaian konflik internal. Lalu untuk apa ASEAN berdiri hingga saat ini? Apa manfaat bagi negara anggotanya khususnya Indonesia? Inilah yang menjadi pertanyaan yang menarik untuk ditelaah lebih jauh mengenai peran dan fungi ASEAN bagi negara anggotanya.


Bagi Indonesia, ASEAN adalah soko guru bagi diplomasi Indonesia. Tidak bisa menyebut ASEAN tanpa peranan Indonesia didalamnya. Selain sebagai negara pendiri ASEAN, nama ASEAN pun datang dari Menlu Indonesia kala itu yakni Adam Malik. Dari tataran konsep hingga implementasi. ASEAN selalu meminta peran serta Indonesia di dalamnya. Namun hal ini berubah sejak Presiden Suharto mundur tahun 1998. ASEAN telah kehilangan pemimpinnya dan begitu pula peran Indonesia di ASEAN jadi memudar. Lalu Indonesia mendapat apa dari ASEAN saat ini? Indonesia adalah negara terbesar di ASEAN yang memiliki ribuan pulau dengan penduduk terbanyak di negeri ini. Pertunbuhan ekonomi Indonesia sebagai yang terbesar di ASEAN, yakni 6 % pada tahun 2012 dan terus meningkat tahun ini, menjadikan Indonesia sebagai driving force ekonomi di ASEAN dan bukan Singapura yang hanya menang dalam Gross National Product (GNP) di ASEAN. Menurut International Monetary Fund (IMF), GNP Singapura yakni $ 60.410 tahun 2012 dan Indonesia $ 4.977, namun pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih unggul dari Singapura yakni 6,5 % dan Singapura 4,4 %.


Dengan modal tersebut seharusnya Indonesia dapat dilihat sebagai negara yang berpengaruh besar bagi ekonomi ASEAN. Namun yang terjadi adalah justru Indonesia menjadi pasar utama produk asing baik dari negara anggota ASEAN maupun mitra ASEAN seperti China, Korea dan Jepang. Hal ini harus segera dibenahi agar ekonomi Indonesia tidak hanya menjadi pasar bagi negara lain. Infrastruktur yang belum memadai dan kurangnya modal usaha bagi UKM menjadikan beban tersendiri dan akan ditambah dengan persaingan dari negara lain yang akan secara masif menggunakan Indonesia sebagai pasar mereka. Pemerintah Indonesia harus segera melindungi produk nasionalnya, para petani dan nelayan serta para produsen lokal agar dapat bersaing dengan negara lain. Jika tidak maka Indonesia hanya menjadi pasar yang sangat menguntungkan pihak asing dan pemerintah telah gagal melindungi kepentingan nasionalnya.


Pemerintah Indonesia harus meninjau ulang perannya di ASEAN baik dari segi kepemimpinan dan bargaining position di ASEAN. Indonesia harus meniru kebijakan Jepang dan AS yang bangkit dari keterpurukan melaui kebijakan isolasi yang bersifat sementara namun berdampak besar kedepannya. Indonesia harus realistis dengan kekuatan dan kekurangan yang dimilikinya. Jangan memaksakan sesuatu yang berat dan tidak dapat ditangani karena nantinya rakyat Indonesialah yang akan menanggung akibatnya. Indonesia wajib merestorasi dirinya dari segala bidang, dan ingat negara ini memiliki semua potensi untuk berkembang dan menjadi negara maju. Diperlukan kepemimpinan yang kuat dan pembangunan yang masif di segala sektor untuk kemajuan Indonesia kedepan.

           

Angga Radian Pally
Jakarta Strategic Studies


Tidak ada komentar:

Posting Komentar