Penempatan pasukan di Laut China
Selatan oleh beberapa negara-negara yang bersengketa mencengangkan masyarakat
ASEAN. Upaya gagah-gagahan ini seakan ingin mencederai mitos ASEAN yang
kondang sebagai organisasi kawasan tanpa konflik terbuka sejak berdiri hampir
46 tahun yang lalu.
Eskalasi sengketa klaim teritorial
ini pun menuai kegaduhan politik dan menyayat kepekaan keamanan kawasan.
Tidak cukup sampai disitu, konflik ini juga telah menjadi pemicu kegagalan ASEAN untuk
kali pertama dalam menyepakati sebuah Joint Communique pada pertemuan ASEAN
Ministerial Meeting ke-45 di Phnom Penh bulan Juli tahun lalu. Indonesia
sebagai Anggota ASEAN yang ‘dituakan’ tak tinggal diam dan langsung bereaksi
mengusulkan ASEAN’s Six-Point Principles on the South China Sea demi
menyelamatkan muka ASEAN. Selepas itu, dalam Sidang Umum PBB September tahun
lalu, Indonesia kembali menyodorkan draf Code of Conduct yang
mengatur lalu lintas di Laut China Selatan sebagai jalan keluar bagi kebuntuan
penyelesaian sengketa tersebut.
Jika ASEAN, yang didominasi oleh
kerja pemerintah negara-negara Asia Tenggara ini, telah dianggap gagal dalam
meredam ancaman atas konflik tersebut, kemudian apa back-up plan nya?
Mungkin kita patut memberi ruang bagi peran Parlemen ASEAN atau ASEAN
Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) dalam permasalahan ini. Dalam
panggung diplomasi, peran parlemen dicirikan sebagai diplomasi jalur kedua atau
yang lebih popular dengan istilah second-track diplomacy.
Diplomasi parlemen “cari aman”
Kedewasaan demokrasi negara-negara
ASEAN memang sangat beragam, alhasil kemampuan parlemen di dalam menentukan
arah kebijakan pun variatif, namun eksistensi parlemen dalam kerangka diplomasi
ASEAN tak terbantahkan. Hal ini dapat ditelusuri di dalam Sidang Umum ke-33
AIPA yang September tahun lalu dilangsungkan di Lombok. Dalam perhelatan
tahunan tersebut, AIPA berhasil menyepakati sebuah Joint Communiqué yang
di dalamnya terurai komitmen semua negara anggota AIPA serta para mitra
wicaranya untuk menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan.
Walaupun AIPA tidak membicarakan
secara khusus tentang permasalahan Laut China Selatan namun mereka
merujuk ASEAN’s Six-Point Principles sebagai acuan untuk
meretas jalan bagi penciptaan kawasan yang lebih aman dan stabil. Alur
diplomasi parlemen “cari aman” ala AIPA yang mengkultuskan harmoni yang
berujung kepada absensi pembahasan Laut China Selatan di Sidang Umum tersebut
dianggap sebagai pilihan yang rasional. Aktivisme diplomasi ini menawarkan
jalan tengah yang berhasil meredam gejolak akrobat politik yang dilakukan
setidaknya oleh tiga parlemen anggota AIPA yakni parlemen Kamboja, Vietnam dan
Filipina.
Tiga tawaran solusi
Diplomasi parlemen “cari aman” ini
terbukti cukup jitu di dalam menciptakan atmosfer sidang yang relatif kondusif
sehingga memberi ruang bagi parlemen anggota AIPA untuk bernafas lega dan
akhirnya sepakat menorehkan Joint Communiqué di akhir sidang.
Namun, tidak selamanya AIPA dapat menghindar dari pembahasan tentang Laut China
Selatan. Permasalahan ini adalah pekerjaan rumah yang harus dipikul bersama.
AIPA seharusnya tidak menceburkan diri menjadi sekedar warung arisan yang penuh
basa-basi (talk shop) tanpa solusi bergigi seperti yang selama ini terjadi
ketika AIPA berhadapan dengan isu-isu strategis yang menyeruak dan menyandera
kepentingan masing-masing anggotanya. Untuk itu, AIPA harus segera berbenah dan
tampil dengan tawaran solusi yang efektif.
Untuk itu, setidaknya terdapat tiga
solusi yang dapat diusung oleh AIPA yaitu pertama, menguatkan tali
kemitraan dengan Parlemen China untuk bekerja keras bersama-sama mencari solusi
yang dapat diterima oleh semua pihak sesuai semangat kebersamaan yang
telah terukir pada tahun 2003 lalu melalui Joint Declaration
of the Heads of State/Government of the ASEAN-China Strategic Partnership for
Peace and Prosperity. Parlemen anggota AIPA harus satu suara di dalam
berkomunikasi dengan Parlemen China. Sentralitas AIPA tidak boleh ditawar-tawar
lagi. Akan tetapi, ini bukan berarti memposisikan Parlemen China sebagai musuh
bersama. Melainkan, ikhtiar merapatkan barisan untuk memetakan permasalahan ke
dalam dua alur yang dapat saling bersinerji yaitu alur kepentingan nasional
China dan penguatan kolektivitas ASEAN.
Kedua, membentuk semacam AIPA Eminent
Persons Group (AIPA EPG) yang anggotanya terdiri dari para
perwakilan parlemen negara-negara anggota AIPA untuk meramu saran
solusi untuk membantu ASEAN menyelesaikan sengketa ini. AIPA
harus mulai berfikir dan bertindak di luar kebiasaan (out of the box). Jangan
hanya monoton menggunakan kekuasaannya di bidang legislasi, anggaran dan
pengawasan saja. AIPA harus mampu tampil memetakan rekomendasi strategis
melalui telaah komprehensif atas masalah konflik Laut China Selatan ini.
Ketiga, apapun rekomendasi yang ditawarkan
AIPA EPG nantinya harus disinerjikan dengan upaya ASEAN terkait dengan
draf Code of Conduct yang sedang digagas oleh Indonesia.
Sinerji ini mensyaratkan arus komunikasi birokrasi yang lapang. Di titik
inilah, peran Sekretariat AIPA sangat substansial. Pola komunikasi Sekretariat
ASEAN dan AIPA yang selama ini terkesan sangat formal dan kaku harus dicairkan.
Duet Sekretariat ini merupakan garda terdepan di dalam mentransliterasi
kebijakan kawasan menjadi kerja riil di lapangan.
Jika ketiga tawaran solusi tersebut
dapat terlaksana maka AIPA akan menorehkan sejarah baru dengan merevitalisasi
posisinya di dalam kancah diplomasi regional apalagi mandat legitimasi rakyat terhadap
parlemen sangat kuat sebagai konsekuensi dari perubahan irama politik ASEAN
yang saat ini cenderung lebih demokratis. Jika demikian, maka tujuan ASEAN
menjadikan organisasi ini lebih terpusatkan kepada peran masyarakatnya (more
people centered) bukanlah isapan jempol belaka ketika AIPA semakin kokoh dan
bergigi.
Yudha Akbar Pally
Jakarta Strategic Studies
Tidak ada komentar:
Posting Komentar