Senin, 13 Mei 2013

Solusi Parlemen ASEAN untuk Konflik Laut China Selatan


Penempatan pasukan di Laut China Selatan oleh beberapa negara-negara yang bersengketa mencengangkan masyarakat ASEAN. Upaya gagah-gagahan ini seakan ingin mencederai mitos ASEAN  yang kondang sebagai organisasi kawasan tanpa konflik terbuka sejak berdiri hampir 46 tahun yang lalu.

Eskalasi sengketa klaim teritorial ini pun menuai kegaduhan politik dan menyayat kepekaan keamanan kawasan. Tidak cukup sampai disitu, konflik ini juga telah menjadi pemicu kegagalan ASEAN untuk kali pertama dalam menyepakati sebuah Joint Communique pada pertemuan ASEAN Ministerial Meeting ke-45 di Phnom Penh bulan Juli tahun lalu. Indonesia sebagai Anggota ASEAN yang ‘dituakan’ tak tinggal diam dan langsung bereaksi mengusulkan ASEAN’s Six-Point Principles on the South China Sea demi menyelamatkan muka ASEAN. Selepas itu, dalam Sidang Umum PBB September tahun lalu, Indonesia kembali menyodorkan draf Code of Conduct yang mengatur lalu lintas di Laut China Selatan sebagai jalan keluar bagi kebuntuan penyelesaian sengketa tersebut.
                                                        
Jika ASEAN, yang didominasi oleh kerja pemerintah negara-negara Asia Tenggara ini, telah dianggap gagal dalam meredam ancaman atas konflik tersebut, kemudian apa back-up plan nya? Mungkin kita patut memberi ruang bagi peran Parlemen ASEAN atau ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) dalam permasalahan ini. Dalam panggung diplomasi, peran parlemen dicirikan sebagai diplomasi jalur kedua atau yang lebih popular dengan istilah second-track diplomacy.


Diplomasi parlemen “cari aman”

Kedewasaan demokrasi negara-negara ASEAN memang sangat beragam, alhasil kemampuan parlemen di dalam menentukan arah kebijakan pun variatif, namun eksistensi parlemen dalam kerangka diplomasi ASEAN tak terbantahkan. Hal ini dapat ditelusuri di dalam Sidang Umum ke-33 AIPA yang September tahun lalu dilangsungkan di Lombok. Dalam perhelatan tahunan tersebut, AIPA berhasil menyepakati sebuah Joint Communiqué yang di dalamnya terurai komitmen semua negara anggota AIPA serta para mitra wicaranya untuk menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan.

Walaupun AIPA tidak membicarakan secara khusus tentang permasalahan Laut China Selatan namun mereka merujuk ASEAN’s Six-Point Principles sebagai acuan untuk meretas jalan bagi penciptaan kawasan yang lebih aman dan stabil. Alur diplomasi parlemen “cari aman” ala AIPA yang mengkultuskan harmoni yang berujung kepada absensi pembahasan Laut China Selatan di Sidang Umum tersebut dianggap sebagai pilihan yang rasional. Aktivisme diplomasi ini menawarkan jalan tengah yang berhasil meredam gejolak akrobat politik yang dilakukan setidaknya oleh tiga parlemen anggota AIPA yakni parlemen Kamboja, Vietnam dan Filipina.


Tiga tawaran solusi

Diplomasi parlemen “cari aman” ini terbukti cukup jitu di dalam menciptakan atmosfer sidang yang relatif kondusif sehingga memberi ruang bagi parlemen anggota AIPA untuk bernafas lega dan akhirnya sepakat menorehkan Joint Communiqué di akhir sidang. Namun, tidak selamanya AIPA dapat menghindar dari pembahasan tentang Laut China Selatan. Permasalahan ini adalah pekerjaan rumah yang harus dipikul bersama. AIPA seharusnya tidak menceburkan diri menjadi sekedar warung arisan yang penuh basa-basi (talk shop) tanpa solusi bergigi seperti yang selama ini terjadi ketika AIPA berhadapan dengan isu-isu strategis yang menyeruak dan menyandera kepentingan masing-masing anggotanya. Untuk itu, AIPA harus segera berbenah dan tampil dengan tawaran solusi yang efektif.

Untuk itu, setidaknya terdapat tiga solusi yang dapat diusung oleh AIPA yaitu pertama, menguatkan tali kemitraan dengan Parlemen China untuk bekerja keras bersama-sama mencari solusi yang dapat diterima oleh semua pihak sesuai semangat kebersamaan yang telah terukir pada tahun 2003 lalu melalui Joint Declaration of the Heads of State/Government of the ASEAN-China Strategic Partnership for Peace and Prosperity. Parlemen anggota AIPA harus satu suara di dalam berkomunikasi dengan Parlemen China. Sentralitas AIPA tidak boleh ditawar-tawar lagi. Akan tetapi, ini bukan berarti memposisikan Parlemen China sebagai musuh bersama. Melainkan, ikhtiar merapatkan barisan untuk memetakan permasalahan ke dalam dua alur yang dapat saling bersinerji yaitu alur kepentingan nasional China dan penguatan kolektivitas ASEAN.

Kedua, membentuk semacam AIPA Eminent Persons Group (AIPA EPG) yang anggotanya terdiri dari para perwakilan parlemen negara-negara anggota AIPA untuk meramu saran solusi untuk membantu ASEAN menyelesaikan sengketa ini. AIPA harus mulai berfikir dan bertindak di luar kebiasaan (out of the box). Jangan hanya monoton menggunakan kekuasaannya di bidang legislasi, anggaran dan pengawasan saja. AIPA harus mampu tampil memetakan rekomendasi strategis melalui telaah komprehensif atas masalah konflik Laut China Selatan ini.

Ketiga, apapun rekomendasi yang ditawarkan AIPA EPG nantinya harus disinerjikan dengan upaya ASEAN terkait dengan draf Code of Conduct yang sedang digagas oleh Indonesia. Sinerji ini mensyaratkan arus komunikasi birokrasi yang lapang. Di titik inilah, peran Sekretariat AIPA sangat substansial. Pola komunikasi Sekretariat ASEAN dan AIPA yang selama ini terkesan sangat formal dan kaku harus dicairkan. Duet Sekretariat ini merupakan garda terdepan di dalam mentransliterasi kebijakan kawasan menjadi kerja riil di lapangan.

Jika ketiga tawaran solusi tersebut dapat terlaksana maka AIPA akan menorehkan sejarah baru dengan merevitalisasi posisinya di dalam kancah diplomasi regional apalagi mandat legitimasi rakyat terhadap parlemen sangat kuat sebagai konsekuensi dari perubahan irama politik ASEAN yang saat ini cenderung lebih demokratis. Jika demikian, maka tujuan ASEAN menjadikan organisasi ini lebih terpusatkan kepada peran masyarakatnya (more people centered) bukanlah isapan jempol belaka ketika AIPA semakin kokoh dan bergigi.

Yudha Akbar Pally
Jakarta Strategic Studies

Tidak ada komentar:

Posting Komentar