Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di
ASEAN tidak mengalami kemajuan yang berarti sepanjang satu dekade terakhir,
meski telah terjadi reformasi di beberapa negara anggota seperti Indonesia dan
Myanmar. Namun reformasi di Myanmar tidak membawa dampak signifikan bagi
penghormatan, kemajuan, dan penegakan HAM, pelanggaran dan itimidasi terhadap
etnis minoritas masih terus berlangsung, bahkan setelah kunjungan Presiden
Obama sekalipun masih banyak tahanan politik yang dipenjara. Begitu halnya
dengan beberapa negara di Asia Tenggara, tidak terkecuali di Indonesia.
Kebebasan berserikat dan berkumpul yang sejatinya dijamin oleh konstitusi UUD
NRI 1945, mengalami distorsi dalam RUU Ormas (revisi UU No.8/1985 tentang
Ormas). Misalnya tentang penerapan asas tunggal, Pancasila, tentu akan
menimbulkan tindakan represif dari pemerintah atas beberapa ormas Islam yang
memiliki asas Islam, ataupun gabungan dari kedua asas tersebut. Belum lagi
prihal legalitas yang harus berbentuk badan hukum yayasan atau badan hukum perkumpulan,
dimana Ormas dapat dilarang melakukan kegiatan bila tidak memilik surat
pengesahan badan hukum atau tidak terdaftar pada pemerintah.
Pencapaian luar biasa para pemimpin
ASEAN yang berhasil mendeklarasikan HAM ASEAN dalam KTT ASEAN di Phnom Penh,
Kamboja pada Ahad, 18 November 2012 seolah tidak lebih sebagai
pemanis dan aksesoris bagi sebuah organisasi yang telah berdiri sejak 8 Agustus
1967. Bila dibandingkan dengan kerjasama regional di kawasan Eropa, Amerika
bahkan Afrika, ASEAN terhitung lamban dalam mengadopsi nilai-nilai Universal
HAM PBB menjadi sebuah mekanisme regional. Bahkan kawasan Afrika yang memiliki
disparitas pertumbuhan ekonomi antar negara-negara anggotanya yang cukup lebar,
telah lebih dulu mengadopsi African Commission on
Human and Peoples’ Rights dan African Court on
Human and Peoples’ Rights untuk memajukan dan menegakkan African Charter on
Human Peoples’ Rights.
Tidak bisa dinafikkan bahwa
negara-negara ASEAN masih memegang teguh prinsip non-interference antar
sesama anggota. Namun sejatinya prinsip tersebut bukan halangan dalam
menciptakan sebuah tatanan masyarakat yang adil dan beradab. Setidaknya kita
dapat belajar dari krisis kemanusian yang terjadi di Myanmar terhadap kelompok
minoritas muslim Rohingya dimana ASEAN sangat sulit melakukan
intervensi kemanusian, terlebih sebuah intervensi politik. Untuk itu, menjadi
pekerjaan rumah bagi para pemimpin ASEAN untuk mampu menciptakan sebuah
kepemimpinan kolektif yang harmonis, dinamis, dan selaras antara kolektifitas
kepemimpinan, sensitifitas isu dan prinsip solidaritas kemanusian. Dimana
keberadaan nilai-nilai tersebut bersumber dari kearifan lokal masyarakat ASEAN,
yang sejatinya memposisikan hak-hak dasar manusia pada posisi tertinggi.
Oleh karenanya, Deklarasi HAM ASEAN
yang sejak perumusannya tidak melibatkan berbagai pemangku kepentingan di ASEAN
seperti kelompok LSM dan masyarakat madani. Bahkan cenderung memberikan ruang
toleransi terhadap pelanggaran HAM bila bersinggungan dengan keamanan publik,
moral publik dan ketertiban publik. dapat menjadi milestone bagi
sebuah pencapaian di masa depan. Deklarasi HAM ASEAN dapat menjadi
sebuah energi baru bagi upaya memajukan dan menegakkan HAM di ASEAN oleh
masyarakat ASEAN itu sendiri. Karena hakekat sejati kerjasama ASEAN tertumpu
pada masyarakatnya, people oriented.
Kehendak individu warga negara di
negara-negara ASEAN untuk menciptakan sebuah komunitas yang dinamis, dimana HAM
menjadi salah satu pilar dalam memmbangun tatanan masyarakat ASEAN adalah
sebuah keniscayaan di masa depan yang tidak bisa dinafikkan oleh para pemimpin
di ASEAN. Meski refomasi struktural kepemimpinan bukan yang utama dalam
menciptakan masyarakat sejahtera. Dan setiap negara anggota memiliki identitas
politik, ekonomi dan sosial budaya yang khas. Keberadaan Deklarasi HAM ASEAN
dapat menjadi ruh dalam melahirkan kebijkan nasional inklusif dan berorientasi
pada pembangunan manusia.
Untuk itu, masyarakat sebagai
kekuatan utama di ASEAN dituntut mampu memberikan daya dorong dalam perubahan
tatanan kehidupan di ASEAN. Indonesia paska Gerakan Reformasi 1998, terus
berproses dan bermetamorfosa dalam menciptakan sebuah tatanan kehidupan
demokrasi yang ideal, tentu menurut standar dan nilai keindonesiaan. Meski
dirasakan masih banyak pekerjaan rumah tersisi, namun setiap pencapain adalah
sebuah prestasi.
Deklarasi HAM ASEAN sejatinya tidak
lebih dari sebuah norma atau code of conduct untuk
menciptakan sebuah tatanan masyarakat yang adil dan beradab. Namun kesejatian
nilai HAM terletak pada kehendak baik kelompok mayoritas untuk melindungi
kelompok minoritas dan penghormatan kelompok minoritas terhadap mayoritas.
Dimana kemajuan dan penegakan nilai HAM di ASEAN tidak akan ditentukan oleh
kualitas Deklarasi HAM itu sendiri, namun oleh keinginan masyarakatnya untuk
menciptakan sebuah kehidupan yang harmonis, dinamis, dan soliditas dalam
keberagaman, unitiy
in diversity.
Khairul Hamdan
Jakarta Strategic Studies
Tidak ada komentar:
Posting Komentar