Kamis, 30 Mei 2013

Menaikkan Harga BBM, Haruskah?


Rencana pemerintah yang akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) akhir-akhir ini memberikan permasalahan tersendiri dikalangan masyarakat. Setiap kali pemerintah berwacana menaikkan harga BBM, terjadi guncangan kuat di masyarakat. Harga barang beranjak naik, dan angkutan umum pun sudah mengambil ancang-ancang untuk menaikkan tarif. Padahal pemerintah belum akan menaikkan harga BBM dan baru akan rencana, namun efek psikologis sudah dirasakan, apalagi ketika harga BBM sudah dinaikkan. Permasalahan pelik ini sudah menjadi semacam bom waktu yang siap meledak kapan pun tanpa bisa dikendalikan, karena harga BBM diseluruh negara pasti akan terkoreksi dengan kenaikan harga minyak dunia. Namun sebagai negara yang dianugerahi sumber daya alam yang berlimpah termasuk minyak bumi dan sumber energi lainnya seperti gas dan batubara, apakah perlu bangsa ini menaikkan harga minyaknya?             
                                          
Mari kita analisa bersama, menurut Satuan Kerja Khusus Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) lifting migas kita pada kuartal 1 tahun 2013 ini sebesar 840.000 barel perhari dan itupun sudah naik dari 827.000 barel perhari. Namun jika kita bandingkan dengan kapasitas produksi minyak kita pada era orde baru yang mencapai 1,2 juta barel perhari, saat ini produksi kita sangat jauh menurun. Dengan menurunnya produksi minyak maka penerimaan negara dari sektor migas relatif menurun dan impor minyak mentah meningkat yang akhirnya membuat defisit akibat migas kian membengkak. Data pada tahun 2012 menunjukkan bahwa defisit minyak kita mencapai sekitar US$ 5 Milyar. Hal tersebut tentunya membuat subsidi BBM terus membengkak. Data lain dari Kemenkeu menunjukkan pada tahun 2013 pemerintah memberikan subsidi BBM sebesar 274,7 Triliun Rupiah dan akan meningkat setiap bulannya mengikuti fluktuasi harga minyak dunia. Kenaikan subsidi ini juga berdampak pada ketahanan energi yang semakin rawan karena ketergantungan pada impor yang semakin besar serta mempengaruhi kemampuan pemerintah dalam membangun infrastruktur.

Selain itu program diversifikasi BBM ke bahan bakar gas (BBG) masih jalan ditempat. Sebenarnya ini adalah solusi terbaik yang bisa diambil oleh pemerintah dalam jangka panjang untuk mengantisipasi kenaikan harga BBM dunia. Namun program diversifikasi BBM ke gas masih sangat memperihatinkan karena saat ini  Indonesia belum memliki banyak stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG). Merunut pada sejarah, Indonesia memulai program diversifikasi BBM ke gas sejak tahun 1995, bersamaan dengan Malaysia dan Iran. Namun jumlah kendaraan di Indonesia yang menggunakan BBG baru 2.000 unit di tahun 2010. Bandingkan dengan jumlah kendaraan di Malaysia yang telah menggunakan BBG hingga tahun 2010 tercatat sebanyak 46.701 unit, sementara di Iran sejumlah 1,95 juta unit. Padahal ketiga negara tersebut mengawali program ini pada tahun yang bersamaan dan Indonesia jelaslah sudah tertinggal jauh. Tidak hanya jumlah kendaraan yang timpang, jumlah SPBG pun demikian. Jumlah SPBG di Indonesia tahun 2010 tercatat 9 tempat dan pada tahun 2013 ini baru akan bertambah menjadi 20, sementara di Malaysia terdapat SPBG di 159 lokasi dan Iran memilikinya di 1.574 lokasi. Sedangkan India juga sudah memiliki 2.000 SPBG dan Pakistan sejumlah 2.500 SPBG. Hal ini menjadi tolak ukur tingkat keseriusan pemerintah dalam program diversifikasi BBM ke BBG yang hingga saat ini bisa kita simpulkan sangat tidak serius dan terkesan main-main.

Faktor lain yang mempengaruhi ketahanan energi kita ialah Penjualan gas Blok Tangguh di Papua ke Fujian, China, sangat murah. Harga gas Tangguh yang saat ini dijual ke Fujian dipatok pada kisaran US$ 3,3 per million metric british thermal unit (mmbtu). Padahal harga domestik saja kisarannya US$ 5-6 mmbtu dan oleh karenanya untuk harga ekspor harus lebih tinggi dari harga domestik. Negara sangat dirugikan oleh penjualan gas Tangguh ini, dan hanya ada satu hal yang wajib dilakukan yakni renegosiasi kontrak penjualan gas. Jika tidak maka negara akan semakin dirugikan oleh penjualan gas yang paling aneh dan terkesan “bodoh” ini. 

Kemudian apa solusi yang ditawarkan oleh pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM ini? Yang pertama adalah dengan menaikkan harga BBM dan memberikan  kompensasi semacam bantuan langsung tunai (BLT). Hal ini sangat tidak tepat karena pemberian BLT sebagai kompensasi kenaikan BBM malah akan semakin memberatkan rakyat. Pemberian BLT adalah bentuk pelecehan pemerintah terhadap rakyatnya yang telah memilihnya secara langsung dan juga telah membayar pajak kepada negara. Jika pemerintah bisa memberikan subsidi kenapa harus memberikan BLT kepada rakyat? Karena jika dihitung secara rasional uang dari BLT tidak akan pernah cukup dalam menutupi selisih kenaikan harga BBM yang yang berdampak pada meroketnya harga kebutuhan pokok dan juga tarif angkutan umum. Pemberian BLT ini juga sangat rawan untuk dipolitisasi oleh penguasa, karena BLT seringkali diberikan ketika akan dimulainya Pemilu legislatif dan Presiden.

Solusi kedua yang ditawarkan pemerintah adalah melalui mekanisme sistem dua harga, dimana harga pertama BBM bersubsidi tidak naik/ tetap untuk angkutan umum dan yang kedua BBM premium dinaikkan untuk semua jenis kendaraan pribadi. Solusi ini dinilai sangat diskriminatif dan akan menimbulkan banyak masalah. Banyak SPBU belum siap menerapkan kebijakan ini karena perlu dibuat stasiun khusus subsidi dan non-subsidi untuk premium. Padahal tidak semua SPBU Pertamina sanggup membuat stasiun khusus karena keterbatasan lahan. Kemudian ada juga kalagan yang berpendapat untuk memberikan pembatasan/penjatahan untuk solar. Jika ini diterapkan maka sudah barang tentu akan sangat memberatkan rakyat dan industri kecil karena ratusan bus dan truk akan kekurangan solar. Kenaikkan tarif angkutan umum yang menggunakan bus akan meningkat dan memberatkan masyarakat.

Solusi konkret
Menurut penulis, solusi yang paling tepat adalah melakukan diversifikasi BBM ke BBG. Selain ramah lingkungan, Energi Non-Minyak yang tersedia dalam jumlah besar secara kontinyu adalah Gas, meski gas termasuk kategori energi fosil. Cadangan Gas Indonesia cukup untuk 100 tahun lebih kebutuhan nasional dan tidak perlu impor. Kebijakan ini sudah diterapkan dibanyak negara dan berhasil seperi Malaysia, Iran, India dan Pakistan. Jika pemerintah serius dalam menerapkan kebijakan diversifikasi BBM ke BBG maka Indonesia tidak akan perlu khawatir akan kenaikan harga minyak dunia yang sangat rentan dan fluktuatif. Namun ada dua persyaratan agar kebijakan diversifikasi BBM ke BBG berhasil. Yang pertama adalah komitmen pemerintah dalam membangun SPBG di seluruh nusantara. Harus ada perencanaan yang jelas dan target yang harus dicapai agar pembangunan SPBG bisa berhasil. Kita sudah mulai program diversifikasi ini sejak 1995 namun baru ada 20 SPBG saat ini dan sangat jauh tertinggal dari Malaysia dan Iran yang melakukan kebijakan yang sama pada tahun yang sama. Syarat yang kedua adalah pembatasan ekspor Gas keluar negeri dan lebih memprioritaskan kebutuhan Gas dalam negeri. Pemerintah harus mau untuk membatasi ekspor Gas ke luar negeri karena memang sumber daya alam yang ada di bumi nusantara ini diperuntukkan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia sesuai dengan UUD 1945 dan bukan untuk dijual ke luar negeri apalagi dengan harga murah. Selain itu pemerintah juga wajib melakukan renegosiasi kontrak penjualan gas Blok Tangguh ke Fujian, China karena sangat merugikan dan melecehkan negara.

Namun jika pemerintah dihadapkan dengan keharusan menaikkan harga BBM, solusi yang paling tepat adalah dengan menaikkan harga secara perlahan. Kemungkinan pemerintah akan langsung menaikkan harga premium dari Rp. 4.500 menjadi Rp. 6.000. dan akan membuat kenaikan besar harga kebutuhan pokok dan tarif angkutan umum. Inflasi juga akan meningkat dan rakyat makin sengsara. Jika dinaikkan perlahan seperti menaikkan Rp. 500 menjadi Rp. 5.000 dan 6 bulan kemudian naik lagi menjadi Rp. 6.500 maka rakyat tidak terlalu kaget dan masih bisa mempersiapkan kenaikkan harga kedepan karena hal ini melalui perencanaan yang matang dan terarah.    

Angga Radian Pally


Tidak ada komentar:

Posting Komentar